Metodologi Kaum Modern

Kenyataannya pembiayaan Syariah adalah laboratorium utama kaum modernis untuk berinovasi, yang ditentukan oleh definisi untuk men-Syariah-kan realitas modern. Laboratorium ini merupakan lahan subur berinovasi karena tidak tersentuh oleh realitas politik. Terinspirasi oleh pengalaman Ahmad al-Najjar pada rejim Nasser Mesir, Organisasi Konferensi Islam (OIC) meluncurkan Bank Pembangunan Islam pada tahun 1973. Lalu memulai di tahun 1975 dengan Bank Islam Dubai, mencetak sektor swasta Bank Islam komersial yang dibuka untuk bisnis dan bersaing dengan sukses dengan bank konvensional, pertama di banyak negara Arab dan kemudian di negara Muslim lain dan bahkan negara non-Muslim. Namun meskipun pertumbuhannya cepat, sekarang mereka tampak terhenti. Gejala penyebabnya adalah Bank Islam Dubai memerlukan paket penyelamatan pada tahun 1998, dan sejumlah bank komersial Islam lainnya menunjukkan tanda-tanda terjegal. Satu dari masalah dasar mereka adalah bahwa mereka tidak memiliki cukup persenjataan instrumen finansial untuk bersaing dengan bank konvensional. Akibatnya mereka mengupah sejumlah insinyur keuangan dan sarjana hukum inovatif untuk berkontribusi menciptakan konsep penipuan baru berdasarkan prinsip-prinsip Syariah dengan harapan bahwa mereka dapat memperoleh 'angin kedua'.

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pembiayaan Syariah. Yang pertama mengambil pendekatan makro ekonomi Syariah dan “menambang korpus hukum klasik untuk prinsip-prinsip Syariah yang mendasar” sehingga dapat menarik kesimpulan dalam hal ekonomi bebas bunga. Pendekatan lain adalah pendekatan mikro yang kurang lebih berfokus dengan hukum Syariah atau Fiqih terhadap “aksi nyata perseorangan yang memiliki signifikansi agama utama” yang kemudian diubah menjadi prinsip-prinsip Syariah siap-pakai. Mikro formal, perspektif berdasarkan transaksi, adalah salah satu yang paling mempengaruhi praktek dan pembiayaan bank Syariah saat ini. Ini dilakukan dengan mereduksi Fiqih kepada beberapa aturan sederhana yang biasanya keliru sebagai pernyataan Hukum Klasik. Akibat dari percampuran pendekatan ini adalah kebingungan.

Ekonom menjawab dengan ketus bahwa pendapat para Fuqaha Salih jaman dulu seharusnya dirasionalisasi, yang tidak setuju dianggap melawan kemajuan agama Islam.

Metode yang disukai mereka untuk menguraikan fatwa mereka dan menerapkannya pada situasi kontemporer ada empat:

1- Dengan ijtihad atau penafsiran baru dengan diterangi oleh ‘prinsip-prinsip’ Qur’an dan Hadist;
2- Dengan pilihan (ikhtiyar) di antara pandangan yang telah diajukan oleh ulama di masa lalu dan diadaptasi oleh berbagai kriteria yang mungkin (metode talfiq, comot dari madzhab sana sini), termasuk dalil kepentingan umum atau maslahat (maksudnya pragmatisme), kepada situasi saat ini;
3- Dengan keharusan (darurah); dan
4- Dengan kecerdasan licik seputar hukum (yang mereka sebut hila, jamak. hiyal) atau penggunaan hukum secara pandai untuk mendapatkan pengesahan.

Adapun para fuqaha tradisional menghindari ijtihad, adapun jika ada hal yang baru, dapat ditentukan hukum syara' nya berdasarkan sumber hukum yang sudah ada, sedangkan ijtihad adalah metode yang lebih disukai oleh kaum modernis, terutama dalam pembahasan kontemporer tentang pilihan, yang merupakan instrumen finansial kritis bagi masa depan pembiayaan Syariah. Profesor Kamali, seorang ekonom Syariah yang dihargai, saat menyebut ijtihad, secara jelas menggunakan metode talfiq dan kriteria kepentingan umum (pragmatisme) dalam analisa hukum instrumen-instrumen ini.

Contoh terbaik dari penggunaan kelicikan hukum adalah Murabahah. Murabahah sebagaimana kami analisa sebelumnya, telah dirubah menjadi alat pembiayaan dengan menggabungkan dua transaksi dalam satu. Ulama modern terakhir kali berpendapat bahwa time value of money adalah hujjah yang sah (walaupun sebenarnya tidak sah) sedangkan mereka menolak disebut membuat uang dari uang.

Di bawah kelicikan hukum ini, bank yang membiayai penjualan Murabahah harus benar-benar membeli barang dan kemudian mengajukan ke pembeli. Namun dalam prakteknya, bank Syariah di Pakistan, Malaysia termasuk Indonesia telah menyusun kaidah Murabahah lain, dimana kreditur segera melepaskan barang dagangan kepada pembeli tanpa pernah benar-benar memiliki atau bahkan sepenuhnya mengidentifikasi barang itu. Akademi Fiqih Organisasi Islam telah mengutuk praktek ini, sedangkan banyak bank Syariah yang terlibat dalam kelicikan tersebut tidak memiliki keahlian perdagangan dan pergudangan guna memenuhi kondisi nyata Murabahah seandainyapun hendak dilakukan oleh perbankan. Bagian utama kredit yang dikucurkan oleh Bank Syariah adalah dalam bentuk Murabahah tetapi porsi artifisialnya tidak diketahui.

Setiap pembongkaran kelicikan hukum yang dilakukan oleh bank Syariah ini, dapat mengakibatkan keseluruhan operasi pembiayaan bank Syariah ini dalam bahaya. Karena serangan yang terus-menerus ini, bank Syariah terus-menerus membutuhkan intrumen finansial baru guna mempertahankan kegiatan penipuan mereka serta mengecoh lebih banyak lagi orang.

Darurah telah digunakan sebagai alat untuk men-Syariah-kan kapitalisme. Penggunaan sesuatu yang darurah harus disertai dengan pengembalian yang Halal, dimulai dengan Zakat. Isu Zakat adalah fundamental bagi Deenul Islam dan fundamental bagi restorasi kehidupan ekonomi Syariah. Zakat tidak dapat dibayar dalam dayn. Bantahan Bankir adalah bahwa dalam keadaan saat ini, Muslim tidak dapat membayar zakat jika tidak dalam uang kertas. Bahkan jika Anda menerima versi realitas ini, Muslim tidak dapat terus berkubang dalam darurah. Prinsip darurah adalah pengampunan, dan sementara itu segala usaha dikerahkan untuk merubah keadaan. Namun alih-alih melakukan itu, ulama pro perbankan menggunakan prinsip darurah ini untuk membenarkan penggunaan uang kertas. Kenyataannya adalah umat Muslim tidak dapat dicegah dari mencetak dan menggunakan Dinar Emas dan Dirham Perak yang Syar'i. Menggunakan darurah dengan cara ini adalah alasan yang dibuat-buat yang berfungsi untuk mempertahankan status quo, yaitu sebagai alat untuk meng-Haramkan yang Halal.

Ijtihadnya kaum modernis bukanlah ijtihad. Ijtihad mereka diasosiasikan dengan penolakan taqlid, yang mereka sebut mengikuti Fiqih tradisional secara buta. Itu adalah bentuk lain kelicikan hukum untuk membuat yang Haram jadi Halal. Kunci penyimpangan mereka adalah penolakan Fiqih tradisional (madzhab1), yang dipandang seperti halnya warisan abad pertengahan. Sebagai gantinya mereka menuju langsung kepada Qur’an dan Hadist. Teks kehilangan konteks atau putusan hukum yang kemudian berubah menjadi prinsip-prinsip Syariah, seperti prinsip bebas bunga atau prinsip pengesahan time value, dan kemudian prinsip-prinsip itu diterapkan kepada kontrak apapun mulai dari obligasi sampai kepada turunannya, termasuk pertukaran, saham, dan juga kartu kredit, pinjaman serta perdagangan hutang.

Penggunaan istilah maslahat, atau kepentingan umum, adalah sebentuk alat Islamisasi. Dengan menggunakan penjelasan yang memadai, maslahat dapat ditafsirkan sebagai apapun. Berdasarkan prinsip maslahat, penggunaan uang kertas dapat dibilang sebagai kepentingan umum. Kenapa Anda harus membawa koin emas yang berat di saku Anda jika Anda dapat menggunakan uang kertas yang lebih ringan atau bahkan kartu kredit yang lebih ringan lagi? Argumen semacam itulah yang mereka gunakan untuk membenarkan praktek kapitalisme yang sedemikian jahat.

Masalah T-Bills ala Islam adalah sangat penting tidak hanya untuk kebijakan moneter, tetapi juga bagi Bank Syariah, selalu membutuhkan tempat berlindung yang aman untuk parkir kelebihan likuiditas mereka. Dalam hal ini dan masalah serupa lainnya yang ada hanya ada konsensus mengenai apa yang diizinkan atau apa yang tidak diizinkan dalam imajinasi lembaga semacam Dewan Syariah Nasional. Ada spektrum penuh argumen hukum dan praktik negara. Hampir semua obligasi pemerintah yang ada dapat diterima oleh beberapa Bank Syariah sedangkan sebagian yang lain tidak menerima, tergantung pada penafsiran masing-masing Dewan Syariahnya. Jadi Model Malaysia, model Negara Pakistan dan Iran, dan Model Islam Arab menggunakan kriteria yang berbeda pada isu-isu baru ini. Sementara Model Malaysia telah mengakomodasi Bank Syariah dalam sistem dual bank syariah dan konvensional, itu tidak berarti jelas bahwa praktek Malaysia akan terbukti secara Syariah dapat diterima di negara-negara Arab. Tidak ada rumus Syariah yang berlaku umum untuk sekuritas pemerintah yang secara relatif bebas resiko.

Blok bangunan standar lain keuangan konvensional modern adalah 'pilihan', hak tanpa kewajiban untuk membeli atau menjual sesuatu di masa mendatang pada harga tertentu. Profesor asal Malaysia Mohammad Hashim Kamali telah menyajikan pembelaan hukum yang ‘provokatif’ untuk bermacam jenis derivatif Islami berdasarkan pasar berjangka bagi komoditas. Sebagian besar argumennya tergantung pada kapasitas kelembagaan pasar untuk mengontrol unsur-unsur gharar, atau spekulasi, yang melekat di pasar derivatif. Professor Kamali menunjukkan penghargaan yang sangat besar kepada kontrak-kontrak pembiayaan modern yang menurutnya belum diajarkan oleh Fuqaha tradisional. Adapun bankir dan ekonom telah memperluas pemahaman mengenai hukum seputar pembiayaan, namun, dari hari ke hari semakin mengkristal konsensus baru mengenai Derivatif Syariah. Keuangan Syariah telah memperoleh 'keluwesan' yang cukup besar dari langkah-langkah awal yang diambil oleh Bankir Syariah pertama. Semua itu tidak akan selesai sampai benar-benar terintegrasi kepada sistem perbankan kafir.

Meskipun dimengerti bahwa banyak orang Muslim menemukan diri mereka dalam situasi di mana mereka menganggap bahwa perbankan diperlukan bagi kehidupan mereka, tidak dibenarkan untuk menyebutnya Syariah. Jika Muslim dipaksa oleh keadaan untuk menciptakan bank, mereka harus menyebutnya "Bank Haram". Nama ini akan membuat orang sadar bahwa semua transaksi yang terjadi di bank dilarang dan akan mendorong orang untuk menghilangkan ketergantungan pada sistem perbankan.