Larangan Dua Penjualan dalam Satu

Ibnu Rushd menjabarkan persoalan ini dalam kitab Bidayatul-Mujtahid:

“Tema yang terkait dengan subjek di bab ini adalah hadist yang menegaskan bahwa Rasulullah shallallahualayhi wasallam, mengharamkan dua penjualan dalam satu, menurut Hadist dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu Masud dan Abu Hurairah. Abu Umar berkata bahwa semua Hadist ini telah diriwayatkan oleh otoritas terpercaya. Karena itu para Fuqaha secara umum setuju pada implikasi Hadist ini, tetapi berbeda mengenai detailnya – Maksud saya bentuk di mana istilah ini diterapkan dan di mana tidak dapat diterapkan. Mereka juga sepakat kepada beberapa bentuknya. Dua Penjualan dalam satu ini dapat terjadi dengan tiga cara:

1- Pertukaran dua komoditas yang diberi harga dengan dua harga,
2- Menukar satu komoditas yang diberi harga dengan dua harga, dan yang
3- Menukar dua komoditas yang diberi harga dengan satu harga, dalam kasus mana salah satu dari dua harga disatukan.

1- Penjualan dua komoditas yang diberi harga, dengan dua harga digambarkan dalam dua cara: pertama saat seseorang berkata kepada orang lain, “saya akan menjual kepadamu komoditas ini seharga sekian dengan syarat Anda menjual kepada saya rumah itu seharga sekian;” dan kedua dia mengatakan kepada seseorang, “saya akan menjual kepada Anda benda ini seharga satu dinar atau komoditas lain ini seharga dua dinar.”

2- Penjualan satu komoditas dengan dua harga juga digambarkan dengan dua cara: pertama, salah satu dari harga dibayar tunai sementara harga yang lain dibayar kredit, dan hal yang kedua, seperti halnya seseorang yang berkata “saya akan menjual kepadamu baju ini secara tunai dengan harga segini dengan syarat bahwa saya membelinya dari Anda (secara kredit) selama periode sekian waktu dengan harga sekian”.

3- Penjualan dua komoditas dengan harga tunggal adalah seperti mengatakan, “saya akan menjual kepadamu salah satu dari dua barang ini dengan harga sekian dan sekian.”

... namun jika dia berkata, “saya akan membelikanmu baju ini secara tunai seharga sekian dengan syarat bahwa Anda membeli dari saya (secara kredit) dalam sebuah periode,” tidak diizinkan secara bulat (oleh ‘ijma), menurut mereka (para fuqaha), karena itu adalah salah satu kategori ‘ina, yakni penjualan oleh seseorang dari apa yang tidak dia miliki dan juga melibatkan kasus larangan jahl mengenai harga.

Ketiga-tiganya adalah Haram.

Imam Malik menulis dalam kitab al-Muwatta:

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar al-Qasim ibnu Muhammad ditanya tentang seseorang yang membeli barang-barang seharga sepuluh dinar tunai atau limabelas dinar kredit. Dia tidak mengizinkan dan melarangnya.”

Malik berkata bahwa jika seseorang membeli barang-barang dari orang lain baik itu dengan harga sepuluh dinar tunai atau limabelas dinar kredit, yang mana salah satu dari dua harga itu diwajibkan kepada pembeli, maka perbuatan semacam itu janganlah dilakukan karena jika dia menunda pembayaran yang sepuluh dinar, maka akan menjadi limabelas dengan cara kredit, dan jika dia membayar sepuluh, dia akan belanja dengan sepuluh dinar itu untuk barang senilai limabelas jika kredit.

Malik berkata bahwa tidak dibolehkan bagi seseorang membeli barang dari orang lain baik itu dengan satu dinar dibayar tunai atau dengan dua dinar secara kredit dan bahwa satu dari dua harga diwajibkan kepadanya. Itu tidak dilakukan karena Rasulullah shallallahualayhi wasallam, melarang dua penjualan dalam satu penjualan. Ini adalah sejenis jual-beli: 'dua penjualan dalam satu'.

Semua dalil ini membuktikan bahwa praktek Murabahahnya Bank Syariah adalah Haram sebab kenyataannya bukan Murabahah tetapi dua penjualan dalam satu, yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahualayhi wasallam.

Larangan dua penjualan dalam satu juga menyertakan praktek tersembunyi yang menjadi biasa di pasar-pasar kita saat ini dan telah didukung oleh Bankir Syariah, yakni merujuk kepada orang yang menjual barang dengan dua harga, satu harga dibayar tunai, satu harga dicicil secara kredit. Ini adalah Haram dan harus diberantas. Jika penjual bermaksud menunda penerimaan pembayaran, maka harganya tidak boleh naik.

Taqi Osmani menegaskan bahwa transformasi Murabahah kepada pembiayaan, yang bertujuan Islamisasi pembiayaan, adalah tidak benar dalam Syari'ah tetapi hanya ukuran sementara:

“Asalnya, Murabahah adalah jenis suatu penjualan dan bukan mode pembiayaan. Mode ideal menurut Syari'ah adalah mudarabah (qirad) atau musyarakah (syirkat) yang telah dibahas pada bab pertama. Namun, dalam perspektif ekonomi saat ini, ada kesulitan praktis tertentu dalam menggunakan instrumen mudarabah dan musyarakah pada beberapa wilayah pembiayaan. Karena itu ahli Syari'ah kontemporer telah membolehkan, sesuai dengan kondisi tertentu, penggunaan Murabahah pada basis pembayaran yang ditunda sebagai mode pembiayaan. Tetapi ada dua poin esensial yang harus benar-benar dipahami dalam hal ini:

1- Hendaknya jangan pernah diabaikan bahwa, asalnya, Murabahah bukanlah model pembiayaan. Itu hanyalah perangkat untuk lolos dari "bunga" dan bukan instrumen ideal untuk melaksanakan tujuan ekonomi Syariah yang sebenarnya. Karena itu instrumen ini hendaknya digunakan sebagai langkah transit yang diambil dalam proses men-Syariah-kan ekonomi, dan penggunaannya hendaknya dibatasi hanya bagi hal-hal di mana mudarabah atau musyarakah tidak dapat dipraktekkan.

Namun, ide ‘langkah transit’ belum disampaikan kepada pelanggan mereka. Pelanggan diberitahu bahwa praktek Murabahah adalah Halal. Masalah terburuk, adalah praktek langkah transit yang dimaksud bukanlah kembali ke Syariah, melainkan integrasi lebih jauh dengan sistem kapitalis, yang mereka sebut men-Syariah-kan ekonomi

2. Maksud dari men-Syariah-kan ekonomi bukan keluar dari kapitalisme yang saat ini mengelilingi kita, tetapi menyesuaikan Hukum Syariah supaya cocok dengan kapitalisme, sebab Syariah dan kapitalisme adalah dua hal yang saling berlawanan.