Kesalahpahaman Reformis Islam dalam Memahami Riba

Para Reformis dan Modernis Islam telah Sengaja menyamakan Riba dengan Riba al-Fadl dan menyepelekan Riba al-nasiah. Ucapan ‘Riba adalah Bunga’ adalah bagian dari kesalahpahaman ini.

Kesalahpahaman mereka diawali oleh para Reformis awal, terutama Rashid Redha. Rashid Redha mengajukan klasifikasi baru mengenai Riba. Redha membuat perbedaan dalam perlakuan hukum yakni apa yang dia sebut ‘Riba berdasarkan Qur’an’ dan ‘Riba berdasarkan Sunnah’. Redha mengajukan bahwa Bentuk Pokok Riba adalah diharamkan oleh Qur’an, dan keharaman ini berlaku sepanjang waktu. Sebaliknya, Sunnah mengharamkan Riba yang Lebih Ringan - menurutnya – Apa yang Secara Umum Diharamkan (Haram) tetapi Dibolehkan (Mubah) karena suatu keharusan (darurah).

Ridha mengajukan bahwa Riba yang diharamkan oleh Qur’an adalah Riba Jahiliyah. (yakni ketika seorang penjual tidak dibayar hak nya setelah waktu yang ditentukan, penjual tersebut akan menaikkan harga) yang secara salah telah dia samakan dengan riba al-nasiah. Dan dia secara salah mengatakan bahwa Riba al-nasiah hanya haram ketika melibatkan Bunga Majemuk, dan karenanya Bunga Tunggal dia hukumi sebagai Mubah (boleh). Dia kemudian mengeluarkan Hukum Syara' bahwa Bunga Tunggal yang dikenakan atau dibayarkan oleh Bank sebagai Tidak Haram dalam artian Mubah berdasarkan Ketetapan dari Qur’an semata Tanpa Menyertakan Sunnah dalam pengambilan Hukum Syara’ ini.

Dia juga mengajukan bahwa pengharaman ‘Riba berdasarkan Sunnah’ mengacu Pertukaran Khusus. Contoh: Dua orang yang saling Tukar-menukar Emas, maka jumlah emas harus sama dalam berat di kedua pihak dan emas yang dipertukarkan harus berpindah tangan di situ dan saat itu juga (Tunai). Dia beralasan bahwa tidak seperti Riba Jahiliyah, transaksi seperti ini tidak dikenal di kalangan orang Arab, karena sulit membayangkan kenapa dua orang melakukan pertukaran dalam jumlah yang sama, untuk komoditas yang sama, pada satu waktu pula. Riba al-Fadl dipandang sebagai praktek barter yang ditinggalkan, yakni ketika orang-orang mempertukarkan emas dengan emas (dan yang semacamnya), namun transaksi seperti ini tidak dipraktekkan lagi karena itu 'Tidak perlu digubris larangan Haram dari Sunnah ini', demikian kira-kira menurut Rasyid Ridha.

Hadist Terkenal yang memuat ucapan ‘Tangan ke Tangan’ dan ‘Semisal dengan Semisal’ adalah mengacu pada Riba, tidak dipahami oleh ulama Modernis. Mereka tidak dapat memahami Sangkut Paut dari Istilah-istilah tersebut dengan Riba.. ‘Emas dengan Emas’, ‘Semisal dengan Semisal’, ‘Tangan ke Tangan’, adalah Gambaran Keseimbangan Transaksi yang ada dalam Sunnah. Satu aspek merujuk kepada Persamaan Jumlah yang mengacu pada Riba al-Fadl; aspek lainnya mengacu pada Kesegeraan Transaksi yang merujuk pada Riba al-Nasiah. Semua Gambaran Keseimbangan ini berfungsi meniadakan kemungkinan Pertukaran ‘Emas yang Tiada’ - (Dayn) dengan ‘Emas yang ada’ - (‘Ayn). Hal yang demikian adalah Sangat Terkait karena Pengabaian hal ini 'Membuka Celah' bagi Kafirun untuk menipu umat Muslim agar menyerahkan emas mereka dengan cara menukar Emas dengan Nota Utang Emas Palsu (yang merupakan bentuk asli uang kertas pada awalnya). Pengabaian Riba berdasarkan Sunnah ini juga digunakan oleh kaum Modernis untuk meng-Halal kan uang kertas.

Padahal Hadist tersebut secara Positif mengacu pada Transaksi Pertukaran Dinar dan Dirham dengan Pecahan yang Berbeda2. Dan secara Negatif mengacu kepada Ketidakmungkinan menggunakan Surat Janji Pembayaran dalam Pertukaran. Baik Positif atau Negatif, keduanya Saling Terkait dan penting bagi Umat Muslim.

Kesimpulan dari Pandangan Ridha adalah sebagai berikut:

A] Riba al-Nasiah hanyalah Riba al-Jahiliyyah. Dan hanya Bunga Majemuk yang diharamkan.
B] Riba al-fadl hanya terkait dengan Tukar-menukar dan bukan Aturan Pokok sehingga dapat diabaikan. Lagi pula Riba al-Fadl dapat di-boleh-kan (Mubah) dengan alasan darurah. demikan kata Ridha.

Para pengikut Ridha pada dasarnya memakai klasifikasi yang sama tetapi berbeda dengan Ridha pada Isu Bunga Majemuk. Para Pengikut Ridha sepakat bahwa Bunga Tunggal Juga Haram, tetapi mereka sepakat bahwa dalil Darurah membuat Bunga Tunggal yang Haram hukumnya menjadi Mubah (boleh) dan Mereka juga memandang bahwa Riba al-Fadl bukan hal pokok karena dipandang penerapannya hanya pada masalah barter.

Bantahan terhadap kaum Modernis Reformis dari kalangan Madzhab Maliki

Yang benar adalah baik itu Riba al-Nasiah dan Riba al-Fadl adalah di-Haramkan oleh Qur’an. Sebab kenyataannya Riba berdasarkan Qur’an dan Riba berdasarkan Sunnah persisnya adalah Sama. Gampangnya: Sunnah bertindak sebagai Syarah (penjelas) yang Hidup bagi Qur’an.

Riba yang dimaksud sebagai Riba al-Jahiliyyah oleh Rashid Ridha, mengandung Riba al-Nasiah dan Riba al-Fadl sekaligus. Dalam transaksi yang disebut Riba Jahiliyah, ada unsur Pembayaran Ditunda (Nasiah) dan sebagai gantinya diberikan Tambahan (Fadl).

Tetapi Riba al-Nasiah menyertakan lebih dari sekedar Riba al-Jahiliyah.

Implikasi dari Posisi Modernis dan Reformis Dengan menyepelekan sifat alami Riba al-Nasiah (Penundaan), kaum Modernis dan Reformis telah menghindari isu yang berkenaan dengan Uang Kertas. Marilah kita lihat isu yang dilupakan oleh kaum Modernis. Uang kertas dapat dianggap sebagai ‘Ayn atau sebagai Dayn.

A] Jika kita menerima fakta bahwa uang kertas adalah dayn, maka artinya wajib untuk membayar jumlah tertentu ‘Ayn, karena itu uang kertas tidak dapat digunakan untuk pertukaran dan Haram dalam dua praktek:

1- Dayn tidak dapat ditukar dengan Dayn. Uang kertas dengan Uang kertas adalah Hutang ditukar Hutang, Haram hukumnya. Imam Malik berkata: '[Transaksi yang Tidak Disetujui dari] Penundaan dengan Penundaan adalah menjual Hutang dengan Hutang.'

2- Dayn atas Emas dan Perak Tidak Dapat Ditukar dengan Emas dan Perak, karena Melawan Larangan Mendasar: 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Nafi’ dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW, berkata, “Jangan Menjual Emas dengan Emas kecuali Semisal dengan Semisal dan Jangan Melebihkan satu bagian di atas bagian lain. Jangan Menjual Perak dengan Perak, kecuali Semisal dengan Semisal dan Jangan Melebihkan satu bagian di atas bagian lain. Jangan Menjual Sesuatu yang Tiada dengan Sesuatu yang Ada.'

B] Jika kita menerima bahwa Uang Kertas adalah ‘Ayn, maka Nilainya adalah Berat Kertasnya, bukan Angka yang tertulis di atasnya. Jika Nilai Uang Kertas dilebihkan berdasarkan Paksaan, Nilainya menjadi Rusak dan transaksinya Batal menurut Syari’at Islam. Uang Kertas digunakan oleh Negara Fiskal sebagai Pajak Ilegal dan Tidak dapat Mewakili Alat Pembayaran dalam Islam.

Memahami Riba al-Nasiah adalah Fundamental untuk Mampu memahami posisi umat Muslim terhadap Uang Kertas. Alasan kenapa ulama Modernis 'memelintir' definisi Riba adalah jelas untuk men-Sahkan sekaligus Menyembunyikan Kejahatan: Perbankan. Pembenaran ini kemudian menjadi Pembenaran atas Bank Islam. Asas Darurah, digabungkan dengan Penghilangan Riba al-Nasiah telah mengijinkan mereka membenarkan uang kertas dan membenarkan Fractional Reserve Banking yang merupakan dasar dari Sistem Perbankan Modern yang saat ini menjadi sumber utama bencana kemanusiaan yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Fractional Reserve Banking juga dipraktekkan oleh Bank Syariah. Insya Allah akan diterangkan di bagian berikutnya. Pemahaman yang tepat tentang Riba al-Nasiah Membongkar Uang Kertas sebagai Sebentuk Riba, Karena Uang Kertas dimaksudkan untuk digunakan dalam cara yang tidak diijinkan oleh Hukum Syariah.