Definisi Riba

Allah SWT Berfirman dalam al-Qur'an:

“Wa ahallallahul bai'a wa harramar riba” Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba


Riba adalah Lawan dari Perdagangan, Riba adalah sebentuk korupsi dalam perdagangan. Perdagangan tidak dapat berjalan bersama dengan Riba, begitu pula riba tidak dapat berjalan dengan perdagangan. Namun Riba telah menjadi Inti Wajah Kaum Kafir hari ini: Kapitalisme. Karena alasan ini, riba adalah isu politik paling penting yang dihadapi umat Muslim hari ini. Riba mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan kejahatan riba dapat dilacak jejaknya kepada dua institusi: Bank dan Negara. Meskipun penting, pemahaman ini masih menetap di awang-awang bagi kebanyakan Muslim. Kebanyakan orang dengan sederhana berfikir bahwa riba hanya sekedar bunga. Realitas riba yang sesungguhnya adalah jauh lebih rumit dari sekedar bunga. Kesalahpahaman ini bukan terjadi begitu saja. Kesalahpahaman ini adalah hasil dari proses pendidikan yang salah dan indoktrinasi yang menghasilkan dua fenomena:

Pertama: Penghancuran kekuatan politik Kekhalifahan, dan
Kedua: Proses Reformasi Islam yang mengikuti hancurnya Kekhalifahan.

Kesalahpahaman ini membuka gerbang untuk meng-Islamkan institusi terpenting Kapitalisme: Bank. Sedangkan dalam Muamalah institusi terpentingnya adalah Pasar Terbuka.

Pendefinisian ulang Riba membuat para penyokong bank Syariah untuk membenarkan perbuatan riba mereka. Karena itulah penting untuk beralih kepada pemahaman yang benar dalam istilah riba ini menurut Fiqih, supaya kita semua dapat melihat apa yang HARAM dan apa yang HALAL. Ini sangat penting untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh kapitalisme, dan kekuasaan ilusi yang dibangun oleh kapitalisme.

Kami akan mencoba untuk menerangkan sejelas mungkin Isu Riba dalam Hukum Syariah (Hukum Syara') dan untuk membetulkan kembali kesalahpahaman yang diciptakan oleh para ulama reformis dan modernis. Riba dalam bahasa Arab, secara kata berarti 'Kelebihan'. Qadi Abu Bakr ibnu al-Arabi dalam “Ahkamul Qur'an” mendefinisikan riba sebagai: 'Setiap kelebihan nilai barang yang diberikan atas nilai dari barang yang diterima. Kelebihan ini merujuk kepada dua perkara:

1] manfaat lebih yang timbul dari kelebihan yang tidak dapat dibenarkan dalam berat dan ukuran
2] manfaat lebih yang timbul dari penundaan yang tidak dapat dibenarkan

Ibnu Rusyd berkata:

“Para Fuqaha sepakat tentang riba dalam perdagangan terdiri dari dua jenis:

Penundaan (Nasi'ah) dan Kelebihan yang Ditetapkan (Tafadul).”

Karena itu riba ada dua:

1] Riba al-Fadl (kelebihan dari surplus)
2] Riba al-Nasiah (kelebihan dari penundaan)

Riba al-Fadl merujuk kepada Jumlah. Riba al-Nasiah merujuk kepada Penundaan Waktu.

Riba al-Fadl sangat mudah dimengerti. Dalam sebuah Utang, Riba al-Fadl adalah Bunga yang dikenakan. Tetapi secara umum, Riba al-Fadl digambarkan: Ketika Pihak Pertama meminta Tambahan atas barang yang diterima. Contoh: Pihak Pertama memberikan sesuatu senilai 100 untuk mendapatkan kelebihan misal menjadi 110.

Juga Haram ketika terjadi dua penjualan dalam satu kontrak (dikenal sebagai dua transaksi dalam satu transaksi). Juga Haram ketika Pihak Pertama mewajibkan penjualan sesuatu pada satu harga dan menjual kembali setelah beberapa waktu kepada penjual semula dengan harga yang dikurangi.

“Para Modernis dan Reformis” telah melakukan “Akrobat Fiqih1” untuk menyamarkan Riba sebab peminjaman uang ke bank terlalu kentara ribanya. Akrobat Fiqih yang dimaksud salah satunya adalah pada kontrak Murabahah ala Bank Syariah yang sebetulnya adalah Hutang Berbunga atas dasar Penundaan Waktu.

Riba al-Nasiah adalah lebih halus. Riba al-Nasiah adalah kelebihan waktu (penundaan) buatan yang ditambahkan pada transaksi. Riba al-Nasiah adalah penundaan yang tidak dapat dibenarkan. Riba al-Nasiah merujuk pada Kepemilikan ('ayn) dan Hutang (dayn) atas alat pembayaran (emas, perak dan bahan makanan pokok yang digunakan sebagai alat pembayaran). ‘Ayn adalah barang dagangan yang nyata, sering dirujuk sebagai Tunai. Dayn adalah janji pembayaran atau hutang atau apapun yang pembayarannya ditunda. Menukar (sarf) dayn dengan ‘ayn adalah sejenis Riba al-Nasiah. Menukar dayn dengan dayn juga Haram hukumnya. Dalam sebuah kegiatan Tukar-menukar hanya diijinkan menukar ‘ayn dengan ‘ayn.

Penjelasan ini didukung oleh banyak Hadist. Imam Malik meriwayatkan dalam kitab al-Muwatta2: “Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia telah mendengar bahwa al-Qasim ibnu Muhammad berkata, "'Umar ibnu al-Khattab berkata, 'Se-dinar dengan se-dinar, dan se-dirham dengan se-dirham, and se-sa' dengan se-sa'. Sesuatu untuk dikumpulkan kemudian tidak untuk dijual untuk sesuatu yang ada di tangan.'" Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa Abuz-Zinad mendengar Sa'id al Musayyab berkata "Riba yang hanya ada pada emas atau perak atau sesuatu yang ditimbang dan diukur dari sesuatu yang dimakan dan diminum."

Sedangkan ulama Madzhab Hanafi Abu Bakr al-Kasani (wafat. 587H) menulis:

“Adapun untuk riba al-nasa’ yakni perbedaan (kelebihan) antara akhir penundaan dan periode penundaan dan perbedaan (kelebihan) antara Kepemilikan (‘ayn) dan Hutang (Dayn) dalam hal-hal yang diukur dan ditimbang dengan jenis yang berbeda dan juga dalam hal-hal yang diukur dan ditimbang dengan keseragaman jenis. Adapun menurut Imam Asy-Syafi’i (rahimahullah) , “Riba adalah perbedaan antara akhir periode penundaan dalam bahan makanan dan logam berharga (dengan nilai kurs) secara rinci.”'

Riba al-nasiah secara khusus mengacu kepada penggunaan dayn dalam pertukaran (sarf) pada jenis yang sama. Tetapi keharamannya diperluas kepada Jual-Beli secara umum ketika dayn yang mewakili ayn melewati batasan ‘dibolehkannya penggunaan secara pribadi’ dan menggantikan‘ayn sebagai alat tukar. Imam Malik, rahimahullah, menggambarkan hal ini dalam kitabnya 'Al-Muwatta':

'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Nota Utang (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa kepemimpinan Khalifah Marwan ibnu al-Hakam untuk barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang menjual dan membeli nota utang di antara mereka sebelum mereka mengirim barang. Zayd ibn Thabit, salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, mendatangi Khalifah Marwan ibn Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah Engkau menghalalkan Riba?” Marwan berkata, “Saya berlindung kepada Allah! Apa itu?” Zayd berkata, “Nota-nota utang ini yang dengannya orang-orang berjual beli sebelum mereka mengirimkan barang.” Marwan lantas mengirimkan pengawal untuk mengikuti orang-orang dan merampas nota-nota utang itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada para pemiliknya.'

Zayd ibnu Thabit secara khusus menyebut Riba kepada Nota-nota utang itu (dayn) 'yang orang-orang perdagangkan sebelum mengirim barang-barang'. Adalah diijinkan menggunakan emas dan perak atau bahan makanan untuk melakukan pembayaran, tetapi Anda tidak dapat MENGGUNAKAN janji pembayaran. Di dalam Janji Pembayaran terkandung kelebihan yang tidak diijinkan. Jika Anda memiliki dayn, Anda harus menarik dulu ‘ayn yang diwakili oleh dayn itu baru kemudian dapat bertransaksi. Anda tidak dapat menggunakan dayn sebagai uang.

Secara umum Aturan Islamnya adalah ‘Anda tidak boleh menjual Sesuatu yang Ada dengan Sesuatu yang Tiada. Praktek semacam ini disebut Rama’dan itu adalah Riba. Imam Malik melanjutkan:

'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari ‘Abdullah ibn Dinar dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa ‘Umar ibn al-Khattab berkata: “Jangan menjual Emas dengan Emas kecuali Semisal dengan Semisal. Dan jangan mengambil kelebihan darinya. Jangan menjual Perak dengan Perak kecuali Semisal, dan jangan mengambil kelebihan darinya. Jangan menjual ‘Sesuatu yang Ada’ dengan ‘Sesuatu yang Tiada. Jika seseorang memintamu menunggu pembayaran sampai dia masuk ke rumah, jangan meninggalkannya. Saya takutkan Rama’ padamu. Rama adalah Riba.”'

Rama’ hari ini adalah praktek yang lazim di pasar-pasar kita. Mata uang Dayn (uang kertas, nota utang) telah menggantikan penggunaan mata uang‘ayn (Dinar, Dirham). Praktek hari ini adalah apa yang Umar ibn al-Khattab maksudkan ketika dia berkata 'Saya takutkan Rama’ padamu.'

Menjual dengan Penundaan bukan hanya di-Haramkan pada logam, termasuk juga Makanan. Malik berkata, 'Rasulullah SAW, melarang menjual makanan sebelum melakukan pengiriman terhadap makanan tersebut.'

Karena itu apa yang di-haramkan dalam Riba al-nasiah, adalah Penambahan dari Penundaan yang dibuat-buat yang bukan sifat alami transaksi. Apa yang dimaksud dengan ‘Dibuat-buat’ dan ‘Sifat alami transaksi? Setiap transaksi memiliki fitrahnya masing-masing dari segi Waktu dan Harga.

Berikut ini Penjelasannya:

Dalam Utang-piutang, dihalalkan adanya Penundaan tetapi Diharamkan adanya Kelebihan Jumlah. Seseorang meminjamkan sejumlah uang, kemudian setelah beberapa waktu, pinjaman itu dikembalikan tanpa Penambahan. Dalam Utang-piutang, Kelebihan Waktu adalah Halal, tetapi Penambahan Jumlah Pembayaran adalah Haram. Ini adalah Riba al-Fadl.

Dalam Tukar-menukar Tiada Penundaan dan Tiada Kelebihan Jumlah. Satu Pihak menyerahkan sejumlah uang Tanpa Penundaan dan Jumlah yang Sama diberikan oleh Pihak Lainnya Tanpa Penundaan Pula. Penundaan adalah Haram dalam Tukar-menukar. Jika ingin penundaan menjadi Halal, maka transaksinya harus dirubah menjadi Utang-piutang. Anda tidak dapat menyebut Utang-piutang sebagai ‘Tukar-menukar yang Ditunda. Penundaan dalam Tukar-menukar adalah Riba al-Nasiah.

Sewa-menyewa melibatkan Penundaan dan Kelebihan sekaligus dan itu Halal. Ketika Anda menyewa rumah, Anda Mengambil-alih Kepemilikan rumah selama beberapa waktu (kelebihan waktu) dan Anda menyerahkan kembali kepada pemilik rumah itu atas Kepemilikan Rumah selama beberapa waktu ditambah (kelebihan) pembayaran uang sewa. Kelebihan-kelebihan ini baik itu Waktu dan Jumlah uang yang dibayarkan adalah Halal. Tetapi Anda hanya dapat menyewa ‘Barang-barang yang dapat disewakan’. Anda dapat menyewa mobil, rumah, kuda, tetapi Anda tidak dapat menyewa uang atau bahan makanan (barang-barang yang fungible). Berpura-pura menyewakan uang adalah ‘Merusak Fitrah Transaksi’ dan itu menjadikannya sebagai Riba.

Dengan demikian setiap transaksi memiliki fitrahnya masing-masing. Anda tidak dapat mengambil sifat alamiah suatu transaksi dan menerapkannya pada transaksi lain tanpa ‘Merusak Fitrah Transaksi’. Menambahkan sifat-sifat yang tidak dapat dibenarkan atau kelebihan kepada sebuah transaksi adalah Riba.

Dikarenakan Dayn itu sendiri adalah suatu Penundaan, penggunaan dayn adalah Haram digunakan sebagai alat pembayaran (uang). Adapun hukum dayn itu sendiri adalah Halal, yang diharamkan adalah menggunakannya sebagai uang. Dayn adalah Kontrak Pribadi antara dua individu dan Harus Tetap Pribadi. Transfer Dayn dari satu orang kepada orang lain dapat dilakukan secara Islami, tetapi dengan cara Penghapusan Dayn Pertama baru setelah itu dapat Menciptakan Dayn Berikutnya. Dayn diharamkan Beredar Bebas. Pemilik Dayn harus mencairkan kepemilikan uang yang diwakili oleh dayn yang dipegangnya sebelum bertransaksi. Dayn Haram digunakan dalam Tukar-menukar dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Dan secara khusus di-haramkan menggunakan dayn untuk membayar zakat.