Lebih Jauh dengan Uang Kertas

Yang pertama kali harus dilakukan sebelum menentukan Hukum Syara' adalah Memahami Permasalahan yang hendak dihukumi dalam hal ini adalah Uang Kertas. Baru setelah itu mencari Hukumnya dari Qur'an dan Fiqih.
Uang Kertas telah berubah berangsur-angsur dalam kurun sejarah yang cukup panjang. Apa yang kita pahami sekarang bahwa Uang Kertas sebagai 'Alat Tukar yang Sah', bukanlah fungsi sebenarnya dari uang kertas itu untuk menjadi 'Alat Tukar yang Sah'. Perubahan berangsur-angsur ini telah melewati Tiga Tahap:

1] Uang Kertas sebagai Nota Utang yang dijamin oleh Emas atau Perak.
2] Proses Penghilangan Jaminan Emas atau Perak dari Nota Utang.
3] Uang Kertas sebagai Selembar Kertas yang Tidak Dijamin oleh Logam Mulia apapun, yang Nilainya Ditentukan Secara Paksa oleh Negara.

Berikut ini Penjelasan dari Tiga Tahap itu:

1- Tahap Pertama

Di masa lalu, Uang Kertas dikeluarkan oleh Bank dan mewakili sejumlah Emas atau Perak yang dikenal dengan Logam Mulia. Namun demikian, Uang Kertas itu tidak pernah dijamin 100% oleh Logam Mulia, dulunya Bank Penerbit Uang Kertas Wajib membayar sejumlah Logam Mulia yang nilainya tertera di atas Nota Utang Kertas itu jika ditagih. Pada tahap ini Uang Kertas mewakili sejumlah Hutang Bank kepada Pemegang Uang Kertas.

Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai hal ini?

Sebelum dibahas, kita lanjutkan dulu uraian kejadian yang ada pada tahap pertama ini. Pada tahap ini sejumlah Emas dititipkan ke Bank dan Bank mengeluarkan Nota Utang sebagai tanda bahwa Pemilik Emas punya simpanan Emas di Bank itu.

A) Dalam Islam masalah di atas berkenaan dengan persoalan Amanah: Emas Anda dipercayakan kepada seorang Bendahara. Bagaimana Hukum Islam mengenai hal ini? Allah ta'ala berfirman dalam Qur'an Surat al'Imran (3, 75):

Memang ada di antara orang-orang Ahli Kitab yang jika kamu titipkan kepadanya sejumlah besar uang dikembalikannya kepadamu. Tetapi ada pula yang jika dititipi satu dinar pun tidak mau mengembalikan, kecuali jika kamu terus-menerus menagihnya. Ini oleh karena itikad jahatnya, yang berpendapat: "Tak ada kewajiban atas kami terhadap bangsa Arab buta agama. Begitulah mereka sengaja membuat kebohongan terhadap Allah sedang mereka itu mengetahui

Hukum Syara' mengenai Penitipan Amanah seperti ini, menurut Qadi Abu Bakr ibn al-Arabi dalam kitabnya ‘Ahkamul Qur'an’, adalah sebagai berikut:

“Haram bagi Muslim Menitipkan Amanah kepada Kuffar di luar Dar al-Islam,”

Maksud dari ayat ini adalah Haram bagi Muslim menitipkan uang kepada Kafir di manapun karena sekarang ini kita tidak punya Darul Islam.

Boleh menitipkan kepada seorang kafir jika tempat penitipan berada di wilayah kekuasaan Otoritas Muslim namun Haram jika penitipan harta berada di bawah Otoritas Kafir.

B) Jika Amanah berada di dalam Otoritas Muslim, maka Nota utang Haram digunakan sebagai Uang.

Berikut ini Sumber Hukum Islam berupa Sunnah dari kitab al-Muwatta Imam Malik:

Imam Malik berkata: “Seseorang hendaknya tidak membeli hutang yang dimiliki oleh orang lain apakah ada atau tiada, tanpa konfirmasi orang yang berhutang, begitu pula hendaknya seseorang tidak membeli hutang yang dimiliki oleh orang mati bahkan jika seseorang mengetahui apa yang almarhum tinggalkan. Karena membelinya adalah transaksi yang tidak pasti dan seseorang tidak mengetahui apakah transaksi itu akan diselesaikan atau tidak”

Dalam Penciptaan Nota Utang, Orang yang berhutang harus menjamin nilai nota hutang kepada orang yang menerima nota utang. Dengan demikian, nota utang pertama dicairkan dulu, baru kemudian boleh membuat nota utang baru. Nota utang tetap dijaga sebagai kontrak pribadi antara dua pihak. Alasannya adalah orang yang mengeluarkan nota utang bisa jadi mengeluarkan nota melebihi yang dapat dia bayar.

Contoh: si A mengambil 10kg Beras dari si B - Si A mengeluarkan nota utang yang menyatakan bahwa A berhutang 10kg Beras kepada si B - Sebelum nota pertama yang dikeluarkan si A dicairkan untuk membayar utang beras yang 10kg itu, maka si A tidak boleh mengeluarkan nota utang baru kepada si B.

Bank menerbitkan Nota uang kertas melebihi yang dapat ditanggung untuk dibayar. Jika setiap penyimpan di bank menarik nilai dari yang tertera di uang kertas yang dipegangnya, bank tidak akan mampu memenuhi kewajibannya.

Nota Utang Haram Digunakan dalam kegiatan Tukar-menukar (Sarf).

Dalam bab Pertukaran uang dalam kitab Muwatta Imam Malik berkata:

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Ibn Shihab dari Malik ibn Aws ibn al‑Hadathan an-Nasri bahwa suatu kali dia diminta menukar 100 dinar. Dia berkata, ‘Talhah ibn ‘Ubaydullah memanggilku dan kami membuat kesepakatan saling menguntungkan bahwa dia akan melakukan pertukaran denganku. Dia mengambil emas dan membolak-balikkan di tangannya dan kemudian berkata, “Saya tidak dapat melakukannya sampai bendaharaku datang membawakan uang dari al-Ghaba.” ‘Umar ibn al-Khattab mendengarkan dan ‘Umar berkata, “Demi Allah! Jangan meninggalkannya sampai Engkau mengambil darinya!” Kemudian dia berkata, “Rasulullah SAW, bersabda, ‘Emas dengan Perak adalah Riba kecuali Tangan ke Tangan (Tunai). Gandum dengan gandum adalah Riba kecuali tangan ke tangan. Kurma dengan kurma adalah Riba kecuali tangan ke tangan. Barley dengan barley adalah Riba kecuali tangan ke tangan.’”

Dalam Islam Tukar-menukar harus Tunai, dua jenis yang dipertukarkan harus ada di tempat pada saat itu juga (Tunai), jika tidak masuk kategori Riba dan Riba adalah Haram.

Persoalan ini mengatur bahwa Nota Utang ditukar Nota Utang adalah Haram karena itu berarti Hutang ditukar Hutang. 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Nota Utang (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa kepemimpinan Khalifah Marwan ibn al-Hakam untuk barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang menjual dan membeli nota utang di antara mereka sebelum mereka mengirim barang. Zayd ibn Thabit, salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, mendatangi Khalifah Marwan ibn Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah Engkau menghalalkan Riba?” Marwan berkata, “Saya berlindung kepada Allah! Apa itu?” Zayd berkata, “Nota-nota utang ini yang dengannya orang-orang berjual beli sebelum mereka mengirimkan barang.” Marwan lantas mengirimkan pengawal untuk mengikuti orang-orang dan merampas nota-nota utang itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada para pemiliknya.'

Ini berarti Anda tidak dapat menggunakan nota utang untuk berdagang seolah-olah itu adalah uang. Kegunaan nota utang bukanlah untuk uang melainkan kontrak pribadi yang harus tetap pribadi dan tidak menjadi umum.

2- Tahap Kedua

Tahap ini merujuk kepada proses yang berlangsung bertahun-tahun ketika uang kertas secara tetap diturunkan nilainya (dibayar kurang dari nilai janji bayar yang tertulis di atasnya) sampai janji bayar benar-benar dicabut. Penghilangan total wajib bayar ini dilakukan pada dolar pada tahun 1973 ketika presiden AS Nixon secara sepihak menarik janji bayar 1 troy ons emas untuk setiap 35 dollar AS.

Bagaimana posisi Islam mengenai nota utang ketika pihak-pihak yang terlibat secara sepihak meng-ingkari janji untuk membayar?

Tentu saja tidak dapat diterima. Itu adalah pelanggaran kontrak. Jika ini dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dan tidak ada ganti bayar yang diterima, itu adalah pencurian murni. Pencurian dihukum dalam Islam.

Menggunakan Uang Kertas berarti Anda sepakat dengan Nota Utang dari lembaga yang jelas-jelas pencuri (bank) yang tidak mengakui kesalahannya atau membayar kewajiban utangnya di masa lalu.

3- Tahap Ketiga

Akhirnya kita sampai kepada uang yang kita miliki sekarang. Tidak ada janji bayar logam mulia apapun. Hanya nilai hukum berdasarkan kewajiban warga negara suatu negara unuk menerima mata uang nasional sebagai alat untuk menebus utang. Ini adalah Hukum Legal Tender. Itu memberi negara kewenangan untuk Menyita Kesejahteraan bangsa dan membayar kesejahteraan itu dengan nota uangnya sendiri.

Hal seperti ini Haram dalam Islam.

Imam Malik berkata uang adalah “setiap komoditas yang secara umum diterima sebagai media pembayaran. Hal ini berakibat pada dua hal:

A) Uang haruslah sebuah komoditas. Karenanya bisa saja berbentuk kertas. Tetapi kertas adalah berat kertasnya bukan nilai yang tertulis di atasnya. Uang haruslah sesuatu yang berwujud (‘ayn). Uang tidak dapat berupa janji bayar.

B) Uang harus umum diterima karena itu tidak dapat dipaksakan. Tidak seorangpun dapat berkata 'wajib bagimu terima uangku'. Bahkan tak seorangpun dapat membuat Dinar Emas dan Dirham Perak wajib bagi setiap orang. Dinar Emas dan Dirham Perak menjadi uang adalah pilihan bebas masyarakat bukan hasil dari undang-undang yang dipaksakan. Sedangkan Uang kertas dipaksakan kepada orang. Paksaan ini tidak dapat diterima dalam Islam untuk dua alasan:

- Memaksa Uang Kertas sebagai Uang adalah Penipuan: Negara mewajibkan Anda untuk menerima sesuatu di atas nilai aslinya (nilai aslinya adalah nol)

- Bersifat Memaksa. Anda diwajibkan untuk menerima uang kertas suka atau tidak.

Pelanggaran Hukum yang lebih jauh dilakukan oleh Hukum Negara yang membatasi penggunaan barang dagangan lain sebagai alat pembayaran2. Dengan demikian menguatkan monopoli Negara atas mata uang. Secara khusus berkenaan dengan Emas dan Perak. Emas dan perak, dipajaki, atau penggunaannya diatur dan terkadang tidak diijinkan. Dalam beberapa kasus ekstrim Emas disita oleh hukum dari warga negara perseorangan, sebagaimana yang telah terjadi di Amerika.

Kesimpulan Akhir Uang Kertas

Uang kertas Haram dalam hukum Islam. Apakah dalam bentuknya yang sekarang atau dalam bentuk lain yang telah terjadi di masa lalu. Uang Syar'i adalah Dinar Emas dan Dirham Perak. Setiap barang dagangan yang umum diterima sebagai alat tukar juga diterima sebagai Sah dalam Islam.

Lebih Jauh dengan Bank

Ketika status darurah terjadi, perbuatan yang diperintahkan adalah berusaha keluar dari situasi darurah, bukan malah melanggengkannya.

Karena itu prioritasnya adalah merubah kondisi darurah. Bunga dapat membantu keluar dari keadaan darurah pada saat kita diwajibkan untuk menggunakan akun bank. Bagaimana caranya? Dengan mendirikan alternatif yang tepat bagi sistem perbankan1, bukan bank yang lainnya, tetapi sebuah institusi yang dapat mengizinkan pembayaran tanpa berkenaan dengan aktifitas perbankan. Institusi itu hendaknya mengizinkan kita untuk melakukan pembayaran dan menabung dengan tata cara Islam.

Darurah berkenaan dengan lingkungan ekonomi. Karena itu untuk memahami masalah kita tidak cukup berfokus pada transaksi perdagangan, kita akan melihat lebih luas, menjajaki keadaan yang mengelilingi transaksi perdagangan. Dengan demikian kita perlu menyelidiki bagaimana institusi perbankan telah menjadi institusi yang hampir memonopoli penciptaan dan penanganan uang. Kita perlu melihat tabi'at dari perbankan, dan juga tabi'at dari uang kredit yang kita gunakan. Akhirnya kita perlu memahami uang dalam Islam, dan bagaimana kita dapat mendirikan kembali bingkai ekonomi Islam di mana bank bukan lagi hal darurah bagi kita, sambil kita tetap dapat memuaskan semua kebutuhan ekonomi kita.

Kunci untuk memahami situasi ekonomi kita sekarang adalah konsep Riba dalam Syariah. Tanpa pemahaman yang tepat terhadap apa yang Haram kita tidak akan mampu membuat penilaian Hukum Syara' yang benar terhadap suatu hal. Untuk memahami Riba kita perlu menghapus beberapa kesalahpahaman, seperti menyamakan bunga dengan Riba – sebab kenyataanya bunga dan riba tidaklah sama. Menyamakan bunga dengan Riba adalah membingungkan. Kalimat seperti ‘bebas bunga’ atau ‘bunga nol persen’ tidak berarti sebuah transaksi adalah bebas Riba. Kalimat-kalimat semacam itu adalah penipuan yang mengarahkan umat Muslim kepada praktek Haram.

Persoalan penting lain adalah untuk menyatakan bahwa Bank Syariah adalah Haram, sebagaimana halnya bank konvensional Haram tanpa terkecuali. Bank Syariah mempraktekkan Riba yang sama dengan bank konvensional, kecuali bahwa perbedaan-perbedaan istilah yang dijadikan kosmetik pemanis biar menarik, layaknya pelacur yang menarik umat Muslim untuk berzina dengan mengatakan bahwa zina di pelacuran syariah adalah zina Islami. Mereka menyesatkan umat Muslim yang awam dengan digunakannya istilah-istilah Arab dan penyalahtafsiran kontrak-kontrak Islam dan juga pengenalan beberapa praktek Haram tertentu seperti ‘dua transaksi dalam satu’, yang pada umumnya tidak diketahui keharamannya oleh kebanyakan orang. Bank Syariah melanggengkan praktek Haram dengan alasan darurah guna membenarkan penafsiran individu mereka terhadap Syariah, yang membenarkan praktek perbankan. Bank Syariah tidak diniatkan untuk merubah atau menghilangkan situasi darurah, karena hal yang demikian akan membongkar kebohongan mereka. Kita akan membahas persoalan ini lebih mendetail nanti ketika kita melihat metodologi yang digunakan oleh kaum Islam modernis untuk merubah pengertian Riba, sehingga membolehkan mereka menerima institusi perbankan dan uang kertas.

Akhirnya kita harus memahami pentingnya apa yang Halal, bagaimana ajaran Islam mengenai yang Halal. Kita telah kehilangan Muamalah Islam dan satu-satunya cara untuk mengembalikan praktek Syariah adalah mengembalikan beberapa aspek kritis infrastruktur ekonomi Islam (pasar terbuka) yang membuat Muamalah menjadi layak. Oleh karena itu masalah ini akhirnya harus menghasilkan pemulihan model ekonomi kita sendiri. Dalam model Islam, kita memiliki rujukan untuk mengembalikan cara berdagang yang benar dan menghilangkan riba dari hidup kita.

Kesalahpahaman Riba Akibat Perbuatan Reformis Agama dan Kapitalisme

Kapitalisme menimpa agama ketimbang berinteraksi dengannya. Supremasinya dalam masyarakat sekarang ini begitu mutlak sehingga kalimat seperti pajak dan tingkat suku bunga memerintah lebih pasti dari keberadaan Allah. Hukum agama telah dibelokkan guna mengikuti perintah perbankan. Keluar dari revolusi, masuk perang dan bencana ekonomi, kapitalisme telah mengatur dan memaksakan kekuasaan strukturalnya ke seluruh dunia. Keberhasilannya telah begitu menyeluruh hingga tidak ada lagi halangan bahkan secara intelektual. Menghilangnya para raja (yang mewakili hubungan kepada hukum tradisi) dan datangnya demokrasi sebagai pengganti, menyediakan tanah yang subur untuk pertumbuhan bagi pembentukan dunia berdasarkan pemikiran kapitalis.

Prestasi gemilang ini mengubah hukum di wilayah agama yang sebelumnya tidak tersentuh. Pemikiran kapitalisme memasuki penilaian hukum agama bahwa kapitalisme diterima sebagai sebuah 'anugerah Tuhan' dan digambarkan seperti penemuan mobil atau radio (maksudnya kemajuan). Kunci kepada hal ini adalah adaptasi larangan tradisi riba melalui pendefinisian yang hati-hati dari istilah riba. Perubahan kepada Kapitalisme menjadi lengkap dalam agama kristen selama proses rumit Reformasi Protestan. Prinsip-prinsip baru ini menghasilkan ‘kristenisasi perbankan’ dan pengucilan Hukum Kanonik kepada moralitas puritan personal. Umat Muslim juga memiliki reformasi sebagaimana halnya kaum protestan. Reformis Islam mengadopsi pola yang sama; adopsi moralitas puritan utamanya kelakuan seksual, dan 'Islamisasi perbankan'.

Apa yang kita sebut modernisme dalam Islam adalah sama dengan apa yang kaum Protestan sebut dalam dunia kristen. Dua golongan ini berbagi cetakan yang sama dan hasilnya pun sama bagi kapitalisme, yaitu pendefinisian ulang riba yang mengizinkan perbankan diterima sebagai bagian dari agama.

Dua hal yang diperlukan oleh perbankan agar diterima oleh agama:

1] Penerimaan bunga yang dikenakan pada pinjaman, baik secara jelas atau tersamar.
2] Penerimaan Fractional Reserve Banking, yakni sistem penciptaan nota utang sebagai pengganti logam mulia (asalnya, emas dan perak).

Hukum Kanonik, sebagaimana diwarisi dari para penulis skolastik dan para pendeta gereja kristen, mengenai persoalan riba sebagai hampir identik kepada bunga. Penafsiran ini berangkat dari paradigma pengikut Aristoteles yang menuntut bahwa nilai dan kontra nilai harus identik. Pengikut Aristoteles secara berangsur meninggalkannya demi definisi yang lebih simpel dan praktis yakni ‘riba sebagai bunga’. Akhirnya revolusi protestan mendefinisi ulang riba dari segala macam riba (tanpa peduli besar kecilnya jumlah) menjadi hanya ‘bunga yang berlebihan’. Penafsiran Protestan setuju bahwa setiap bunga yang sesuai dengan rate pasar diizinkan, dan hanya bunga yang ‘berlebihan’ kesenjangannya dengan pasarlah yang dianggap riba1. Tetapi dalam prakteknya, tanpa batasan yang disepakati berapa persenkah bunga menjadi riba, definisi tersebut sungguh sia-sia dan tak berarti.

Definisi pengikut Aristoteles hampir sama dengan pandangan Islam. Qadi Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi mendefinisikan riba sebagai: “Setiap kelebihan yang tidak dapat dibenarkan antara nilai barang-barang yang diberikan dengan nilai barang yang didapat.” Ide umumnya adalah walaupun memiliki penilaian subjektif terhadap barang, dalam transaksi semacam itu harus ada kesamaan dalam satu nilai yang objektif. Para ahli ekonomi seperti Bentham2 menentang pandangan pengikut Aristoteles atas dasar preferensi nilai subjektif (yang terlihat sebagai nilai nyata). Dari sudut pandang pengikut Aristoteles ‘jika hanya pertukaran’ tidak masuk akal karena semua pertukaran berdasarkan definisi ini adalah tidak seimbang. Ini karena perspektif subjektif dan pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran selalu mengharapkan ‘utilitas’ yang lebih tinggi (nilai subjektif) dari barang yang diterima ketimbang barang yang dilepas. Dengan demikian, dari perspektif utilitarian, seperti halnya berkata “perdagangan sama dengan riba”. Dan Allah memperingatkan orang-orang yang berkata “perdagangan sama dengan riba” (Qur’an 2:274).

Setelah pandangan utilitarianismenya Bentham, semua bunga dalam bentuk apapun dianggap boleh. Pemikiran ekonomi yang datang setelah itu didasarkan pada 'kebolehan riba' oleh Bentham. Lebih jauh lagi, dari perspektif utilitarian ini tidak hanya bunga yang diterima tetapi ide tentang keseimbangan tidak lagi disangkut-pautkan dan karena itu diabaikan. Ini menjelaskan ketidakmampuan para ekonom untuk memahami definisi Islam mengenai Riba, yang didasarkan pada persamaan intrinsik dari transaksi semacam itu. Meninggalkan para ekonom dalam kebingungan tiada akhir ketika mencoba memahami ekuivalensi dalam Islam, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat “emas dengan emas, tangan ke tangan, semisal dengan semisal.” Kebingungan mengenai ekuivalensi ini’ adalah hal yang biasa bagi semua ahli ekonomi.

Makna Riba dalam Islam adalah lebih mendetail dan menyeluruh ketimbang Hukum Kanonikal. Ekuivalensi Aristoteles diperluas dan dicontohkan dalam Syariat. Syariat menawarkan pemahaman lengkap transaksi perdagangan dan Riba. Pemahaman yang diperluas ini menyertakan penjelasan mendetail dari makna 'kelebihan' dalam dua bentuk: perbedaan dan penundaan. Sebaliknya pemahaman Riba dalam dunia kristen hanya semata riba adalah bunga. Hukum Islam adalah lebih menyeluruh dan jelas. Misalkan, dalam transaksi tertentu yang tidak dibenarkan, dikenalkan penundaan yang dibuat-buat yang tidak dapat dibenarkan karena dipandang 'kelebihan', dan karena itu menimbulkan Riba. Bentuk riba ini telah mengecoh semua ilmuwan kristen di masa lalu. Celah yang lolos dari pemahaman kristen inilah yang berakibat riba akhirnya masuk ke dalam dunia kristen melalui instrumen perbankan dan utamanya penggunaan nota utang (yang di dalamnya ada unsur penundaan). Kami ingin menekankan pentingnya Riba an-nasiah sebagai cara mengenali bentuk riba yang signifikan yang mengecoh para ilmuwan kristen.

Para Reformis Islam

Di Mesir, selama akhir abad ke-19, sekelompok ulama palsu memulai versi Islam mereka sendiri yakni reformasi mirip kaum protestan. Di antara hal-hal yang mencoba mereka rubah adalah definisi Riba supaya dapat mengakomodir praktek perbankan di masa itu. Dari Muhammad ‘Abduh sampai ulama modern yang pro perbankan di sana menjalankan kegiatan belajar mengajar yang tidak terganggu, yakni menambah unsur baru kepada pendefinisian Islam, dan mengurangi unsur yang ada. Kegiatan inilah yang kita sebut modernisme. Pencapaian akhir dari kegiatan ini adalah ditemukannya Bank Syariah.

Inspirasi di balik gerakan modernis adalah Jamal-ud-Din al Afghani (1839-1897), sedangkan otaknya adalah Muhammad ‘Abduh (1845-1905), dan yang menyebarkannya adalah Rashid Reda (1865-1935). Gerakan ini pertama kali muncul sebagai penolakan terhadap kolonialisasi Barat, tetapi penolakan emosional yang disertai oleh kekaguman terhadap Barat.

Karena posisinya sebagai Mufti Besar Mesir – sebuah posisi yang diberikan kepadanya pada tahun 1899 oleh Lord Cromer, Gubernur Inggris di Mesir – Muhammad ‘Abduh menjadi tokoh yang paling berperan dalam perusakan Islam. Fatwa pertamanya sebagai Mufti Besar adalah sebagai berikut: “Bunga dalam simpanan tabungan adalah Boleh”. Dia menulis (5 Desember 1903):

“Penetapan Riba tidak diizinkan dalam bentuk apapun; sementara kantor pos menginvestasikan uang yang diambil dari masyarakat, yang tidak diambil dari pinjaman berdasarkan kebutuhan, karena itu mungkin untuk menerapkan investasi uang itu berdasarkan aturan bagi hasil.” [*maksudnya bagi hasil sama seperti Qirad] (Al-Manar, vol. VI, part 18, p. 717)

Penting untuk diperhatikan bahwa ketika dia mencela Riba, dia menerima perbankan. Ini adalah kelakuan semua ulama modernis. Dengan penetapan Hukum Syara' 'Boleh' terhadap Riba ini, dia membuka pintu kepada penerimaan perbankan Syariah. Walaupun dia tidak pernah memformulasikan ide Bank Syariah – karena dia tidak melihatnya sebagai penting untuk menyebutnya Syariah – tapi dia mendirikan dasar bagi ulama modern selanjutnya yang menyusun formulasi bank Syariah dari dasar yang didirikannya. Sebab dasar itu berarti menafsirkan ulang bunga sebagai keuntungan, sebagaimana halnya Syirkat atau Qirad. Penafsiran kritis ini dicapai oleh pengenalan satu set definisi buatan dan skema penipuan.

Muhammad Rashid Redha adalah pendiri majalah Al-Manar, yang disebarkan ke seluruh Dunia Islam. Dia berpartisipasi dalam lingkaran para penyokong konstitusi yang sama dan anti Daulah Utsmani sebagaimana Al-Afghani dan 'Abduh. Dia memusuhi Madzhab tradisional untuk memaksakan pendapatnya sendiri. Dia juga keras dalam memusuhi Tasawwuf. Pendapatnya mengenai Barat dan Riba jelas terlihat dalam tulisannya:

“Tidak ada dalam agama kita yang tidak sesuai dengan arus peradaban, terutama aspek yang dianggap berguna oleh semua bangsa beradab, kecuali berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang Riba dan saya siap untuk bersangsi [dari sudut pandang Syari'ah] bahwa semua pengalaman Eropa sebelum kita menunjukkan bahwa 'kemajuan negara1' adalah dibutuhkan untuk membesarkan Islam. Tetapi saya tidak akan menbatasi diri pada Madzhab yang ada, melainkan hanya bergantung kepada Qur'an dan Hadist Sahih.” (Al-Manar, vol. XII, p. 239)

Kalimat “kecuali berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang Riba” bermakna bahwa, misalkan, dia memandang tidak apa-apa memiliki polis asuransi jiwa (Al-Manar, vol. XXVII, p. 346, juga vol. VII, p. 384-8, dan vol. VIII, p. 588).

Dia juga mencela Ushul Fiqih dengan menyalahgunakan Qiyas untuk memperluas wilayah ke-Haraman hingga menyinggung pemungutan bunga modal, dan sebaliknya malah menyarankan untuk memungut bunga atas uang yang tersimpan di bank atau kantor pos sambil mengatakan bahwa itu bukan riba yang dilarang. (Al-Manar, vol. VII, p. 28).

Rashid Reda menciptakan penggolongan Riba baru yang menjadi pedoman bagi semua ulama modern setelahnya. Redha membuat perbedaan perlakuan hukum terhadap Riba yakni “Riba Berdasarkan Qur’an” dan “Riba Berdasarkan Sunnah”. Reda mengatur sedemikian rupa bahwa bentuk pokok Riba adalah yang diharamkan oleh Qur’an, dan keharaman ini berlaku sepanjang waktu. Sedangkan Riba Berdasarkan Sunnah, mengharamkan riba yang lebih ringan – menurutnya – yang umumnya diharamkan tetapi diizinkan karena keadaan darurah.

Kesalahpahaman Mengenai Riba An-Nasiah

Ulama modern pro perbankan telah mewarisi ‘kebingungan mengenai ekuivalensi’ yang sama yang menghantui para ekonom sejak Bentham. Mereka tidak dapat memahami makna ‘emas dengan emas, semisal dengan semisal, tangan ke tangan’. Mereka menyesatkan orang dengan mengganti makna kalimat dengan pemahaman yang lebih sederhana yakni bunga. Dengan demikian mereka mengabaikan dua hal: satu, makna menyeluruh ‘semisal dengan semisal’ yang artinya lebih dari sekedar bunga; dua, mereka sungguh mengabaikan isu penundaan.

Kesalahan mereka pada dasarnya sama dengan Ridha. Kesalahan pertama adalah mengidentifikasikan Riba dengan bunga. Mereka berkata bahwa Riba dan bunga adalah hal yang sama dan dapat dipertukarkan istilahnya. Kedua, kesalahan dalam penggolongan Riba yang menghasilkan pemahaman yang tidak memadai mengenai Riba an-nasiah.

Di antara para ulama modernis ini, beberapa telah datang dengan klasifikasi yang sama sekali baru:

Riba Hutang dan Riba Jual-beli. Keduanya mereka sebut ‘Riba al- Duyun’ dan ‘Riba al-Buyu’. Riba al-duyun merujuk kepada kontrak yang ada penundaan, seperti Hutang dan Jual-beli yang ditunda. Riba al-buyu’ merujuk kepada kontrak yang tidak ada penundaan, seperti Jual-beli pada umumnya dan kegiatan Tukar-menukar. Di bawah penggolongan ini mereka bersikeras dalam menyebut penerapan Riba al-fadl (kelebihan) kepada transaksi yang terjadi dalam jual beli1. Dan mereka mengidentifikasi Riba an-nasiah dengan Riba al-jahiliyyah dan juga kelebihan pembayaran dalam hutang. Ini adalah sama dengan penggolongannya Reda, kecuali mereka menggunakan istilah baru.

Para modernis ini menyalahtafsirkan Ayat (2:275) dengan mengartikan “Allah telah melarang Bunga”. Dan mereka benar-benar salah mengerti dengan memahami secara literal Hadis “Tidak ada Riba kecuali dalam nasiah.” Menurut kami Hadist ini tidak mengecualikan bentuk lain Riba.

Sedang menurut mereka keharaman Riba an-nasiah secara esensial menyiratkan bahwa Syari’ah tidak mengizinkan bunga. Bagi mereka, perkara yang dimaksud adalah “kelebihan pengembalian yang ditentukan di awal” (Chapra 1985, Towards a Just Monetary System. Leicester: The Islamic Foundation. p. 57).

Keharaman Riba yang diartikan sebagai “kelebihan pengembalian yang ditentukan di awal” – bersama dengan istilah “bebas bunga” – adalah aspek kunci lain yang menjadi tesis mereka, namun itu tidak dapat menggantikan makna sejati Riba yang sesungguhnya.

Apa yang penting mengenai isu ini adalah bahwa mereka menyamakan Riba an-nasiah dengan pinjaman, dan itu dihilangkan dari makna Tukar-menukar dan kontrak lain. Setelah itu kita akan melihat implikasi dari hal ini.

Mereka mengakui bahwa ada Riba al-fadl tetapi mereka juga sudah merubah maknanya. Mereka berkata bahwa Riba al-fadl dijumpai dalam pembelian tunai (tangan ke tangan) dan penjualan komoditas. Meliputi semua transaksi yang melibatkan pembayaran tunai pada satu pihak dan kesegeraan pengiriman komoditas di lain pihak. Ini membuat mereka pusing tujuh keliling mengenai makna penundaan dalam tukar-menukar. Mereka menyepelekan fakta bahwa kelebihan yang tidak dapat dibenarkan (tafadul) yang terjadi dalam sebuah hutang adalah Riba al-fadl juga. Kekosongan ini diisi dengan definisi pribadi mereka mengenai Riba an-nasiah, yang membuat mereka menghilangkannya dari makna yang sesungguhnya. Untuk memberikan kemiripan supaya tampak sah bagi posisi salah mereka, mereka mengutip semua otoritas dan Hadist tetapi merubah konteks dan memelintir makna mengenai jenis Riba apa yang dapat diterapkan2, dengan demikian menggelincirkan orang dari pemahaman menyeluruh mengenai Riba ini. Pendek kata, ini adalah benar-benar Penipuan.

Salah satu contoh penipuan, mereka berpendapat bahwa dari keharaman Riba al-fadl munculah Sabda Nabi, sallallahualayhi wasallam, yang meminta bahwa jika emas, perak, gandum, barley, kurma dan garam saling dipertukarkan maka hendaknya ditukar di tempat itu juga dan sama ukuran takaran serta timbangan. Walaupun mereka mengakui bahwa enam jenis komoditas yang disebutkan berfungsi sebagai uang pada jaman itu, mereka tidak mensejajarkan ini dengan tukar-menukar uang. Mereka berkata bahwa uang kertas bukan bagian dari keharaman karena bukan salah satu dari komoditas yang disebut dalam Hadist tersebut. Omongan ini jelas melenceng karena nota utang berlaku baik itu sebagai ‘ayn atau dayn. Jika sebagai ‘ayn nilainya adalah nol. Jika sebagai dayn, maka nota utang mewakili pembayaran yang ditunda yang tidak dibolehkan dalam kegiatan tukar-menukar.

Ketika menjelaskan signifikansi Riba al-fadl dan kenapa itu juga diharamkan, Chapra menyediakan alasan berikut ini:

Di permukaan, tampak sulit untuk memahami kenapa seseorang ingin menukarkan jenis komoditas yang sama misal emas dengan emas atau perak dengan perak atau komoditas lainnya, ditambah lagi harus di tempat itu juga. Dia berkata bahwa apa yang secara esensial dimaksud adalah keadilan dan permainan yang fair pada tempat transaksi; harga dan nilai barang hendaknya adil dalam semua transaksi ketika pembayaran tunai (terlepas dari apa yang menjadi uang) dibuat oleh satu pihak dan komoditas atau jasa dikirim sebagai balasannya oleh pihak yang satunya.

Dia berkata bahwa segala sesuatu yang diterima sebagai “ekstra” oleh salah satu dari dua pihak kepada transaksi adalah Riba al-fadl, yang dapat didefinisikan dalam kalimat Ibnu al-Arabi sebagai kelebihan atas apa yang dibenarkan oleh nilai sebaliknya. Karena itu dia berpendapat bahwa keadilan hanya dapat terjadi jika dua titik dari sebuah timbangan memuat barang-barang dengan nilai yang sama. Dan akhirnya dia menyimpulkan bahwa poin ini dijelaskan dengan sepatutnya oleh Nabi, sallallahualayhi wasallam, ketika Nabi merujuk kepada enam komoditas penting dan menekankan bahwa jika satu timbangan memiliki satu dari komoditas ini, timbangan lain juga harus memiliki komoditas yang sama, “semisal dengan semisal”.

Lebih jauh dia melanjutkan pendapat bahwa untuk menjamin keadilan, Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, bahkan mencegah transaksi barter dan meminta bahwa sebuah komoditi untuk dijual terlebih dulu dengan uang perak dan uang perak itu digunakan untuk membeli komoditas yang diperlukan. Ini karena tidak mungkin dalam transaksi barter, kecuali bagi seorang ahli, untuk secara tepat menentukan ekuivalensi yang adil pada satu barang dengan barang-barang lain. Dengan demikian ekuivalensi hanya dapat dibuat berdasarkan ukuran 'kira-kira' sehingga mengarah kepada ketidakadilan satu pihak atas pihak yang lain. Karena itu penggunaan uang membantu mengurangi kemungkinan pertukaran yang tidak adil. (Ibid, pp. 58-59).

Posisi ini menghilangkan kemungkinan Riba Nasi'ah dalam kegiatan Tukar-menukar. Dia berkata bahwa transaksi semacam 'emas dengan emas' tidak terjadi lagi dan karena itu isu ini menjadi tidak relevan. Kenyataannya adalah transaksi ini terjadi setiap hari, yakni setiap kali nota utang digunakan. Mereka hanya menganggap bahwa apa yang diharamkan hanyalah bunga pinjaman dan 'kelebihan' dari tukar-menukar jenis barang yang sama. Adapun semua hal lain disepelekan.

Mengikuti argumentasi sebelumnya Chapra lebih jauh menyimpulkan bahwa semua komoditas yang dipertukarkan di pasar kemungkinan terkena Riba al-fadl. Dia berkata bahwa keharamannya hanya dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran 'yang tidak adil' dan menutup semua pintu belakang Riba karena, dalam Syari'at Islam, segala sesuatu yang menjadi sarana kepada yang haram juga haram.

Dia berpendapat bahwa Nabi, sallallahualayhi wasallam, juga menyamakan dengan Riba, kecurangan halus para pelaku perdagangan di pasar dan harga yang terus naik dalam lelang dengan bantuan agen.

Dengan demikian dia berkata, uang ekstra yang diperoleh melalui eksploitasi semacam itu dan juga kegiatan penipuan adalah Riba al-fadl. Riba al-fadl menurutnya adalah setiap bentuk ketidakadilan, dan dia merekatkan kasusnya dengan Hadist Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, yang berbunyi: “Tinggalkanlah hal yang menciptakan keraguan dalam pikiranmu untuk mendukung hal yang tidak menciptakan keraguan.” Dan juga Khalifah Umar yang berkata: “Berpantang bukan hanya dari Riba tapi juga dari Ribah” Ribah bermakna ‘ragu’ yang merujuk kepada income yang mirip Riba atau yang muncul dalam pikiran mengenai halal-haramnya. Meliputi income yang berasal dari ketidakadilan atau eksploitasi terhadap orang lain (Ibid, p.61).

Dengan demikian Riba al-fadl sepenuhnya didefinisikan ulang dalam istilah ketidakadilan dan Riba an-nasiah dikesampingkan menjadi sekedar riba yang berkenaan dengan pinjaman, di mana kenyataannya definisi itu tidak cocok kecuali dalam kasus “hutang dengan hutang” yakni dalam kasus 'hutang dibayar hutang'.

Merujuk kepada Fakhruddin al-Razi, Chapra menyimpulkan bahwa Riba an-nasiah dan Riba al-fadl adalah unsur esensial dari ayat:

“Allah telah menghalalkan Jual-beli dan mengharamkan Riba.”

Dan dia berkata bahwa saat Riba an-nasiah berhubungan dengan pinjaman dan diharamkan dalam ayat itu, Riba al-fadl berhubungan dengan perdagangan dan tersirat dalam bagian pertama. Dia berkata bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan melalui Riba dapat langgeng melalu transaksi bisnis, dan Riba al-fadl merujuk kepada semua ketidakadilan dan eksploitasi, lelang, ketidakpastian, atau spekulasi bisnis, dan monopoli serta monopsoni (Ibid, p.61).

Sekarang kita akan menjajaki kalimat ini “Riba an-nasiah berhubungan dengan hutang” kita dapat memahami dasar kesalahan mereka. Apa yang Chapra dan lainnya katakan adalah bahwa Riba nasiah merujuk kepada Riba yang terjadi dalam transaksi yang memiliki penundaan (seperti hutang), sedangkan posisi yang tepat Riba an-nasiah adalah “penundaan yang tidak dibenarkan” yang terjadi di segala jenis transaksi (misalnya dapat terjadi pada Tukar-menukar). Kenyataannya walaupun ada penundaan dalam hutang, itu bukanlah penundaan yang haram. Penundaan dalam hutang adalah Halal (kecuali dalam kasus “hutang dengan hutang”). “Kelebihan yang tidak dibenarkan” dalam hutang adalah 'kelebihan pembayaran'. Karena itu penundaan bukan penyebab Riba dalam kasus hutang, melainkan kelebihan pembayaranlah yang jadi penyebab Riba. Jenis Riba yang diasosiasikan dengan pengenaan bunga pinjaman adalah Riba al-fadl dan bukan Riba an-nasiah.

Kesalahan ini bukan kesalahan yang sederhana, sebab membawa akibat penting. Dengan mendefinisi ulang Riba an-nasiah, justru menghilangkan makna sehingga kehilangan kemampuan mendefinisikan ke-Haraman dalam penundaan yang diharamkan. Ini akan mencegah para Bankir Syariah dari kemampuan mempertanyakan keharaman penggunaan nota utang dalam pertukaran dan transaksi lain di mana penggunaan dayn adalah haram. Kesalahan ini adalah pintu belakang pembenaran uang kertas.

Para Bankir Syariah setuju bahwa bunga yang dikenakan oleh bank konvensional “adalah identik dengan kelebihan yang ditetapkan di awal sebagai kewajiban yang harus dibayar, yang merupakan salah satu dari dua jenis riba yang diharamkan oleh Syariat Islam.” Tetapi mereka menyepelekan pertanyaan apapun tentang kemungkinan Riba oleh penundaan dalam pertukaran dan transaksi lain, juga pemahaman kritis tentang uang kertas. Akademi Fiqih Islam yang didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam (OIC) dalam sesi kedua yang diselenggarakan di Jeddah, Saudi Arabia, 22-28 December 1985, mendeklarasikan bahwa “setiap kelebihan atau keuntungan pada pinjaman yang telah jatuh tempo, sebagai imbalan atas perpanjangan tanggal jatuh tempo, dalam hal peminjam tidak mampu membayar, dan setiap kelebihan atau keuntungan pinjaman pada saat dimulainya perjanjian pinjaman, keduanya adalah bentuk Riba, yang diharamkan oleh Syariah” (Ausaf Ahmed 1995, Evolusi Bank Islam. Dalam Ensiklopedia Bank Islam, London: Institut Asuransi dan Bank Islam. p.17).

Kesimpulannya, klasifikasi kaum modernis mereduksi Riba kepada dua isu:

Bunga dalam pinjaman dan setiap jenis monopoli atau monopsoni, atau peningkatan harga terus-menerus di pasar. Yang pertama mereka sebut semena-mena sebagai Riba an-nasiah, dan yang kedua Riba al-fadl. Klasifikasi ini memelintir makna dari dua jenis Riba itu dan menyepelekan isu penting penggunaan uang kertas dalam pertukaran dan seluruh permasalahan uang kertas. Dalam esensinya, ide mereka tentang Riba adalah bunga pinjaman.

Menyamakan Riba dengan Bunga Pinjaman

Ulama pro perbankan menyamakan bunga dengan Riba. Menurut mereka, Riba merujuk kepada iuran yang harus dibayar oleh peminjam kepada yang meminjami bersama dengan utang pokok sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan utang yang jatuh tempo (Chapra 1985, p.64). Dengan kata lain, Riba adalah kelebihan pengembalian yang ditentukan. Di masa lalu telah ada sengketa apakah Riba merujuk kepada sekedar bunga atau semua jenis riba, tetapi sekarang ada kesepakatan di antara para ulama modern bahwa istilah Riba meliputi semua bentuk bunga dan bukan hanya bunga yang “berlebihan” [sebagaimana dipercaya oleh Ridha dan yang lainnya] (Khan, W. M. (1985), Menuju Sistem Ekonomi Islam Bebas Bunga. Leicester, Islamabad: Yayasan Islam, Asosiasi Internasional Ekonomi Islam. p.52).

Ulama modern telah menyimpulkan bahwa karakteristik terpenting Riba adalah hasil pasti dari uang ketika berubah jumlah. Dengan kata lain, ketika uang beranak uang, tanpa ditukar dengan barang atau jasa, maka disebut Riba. Karakteristik dasarnya menurut mereka adalah:

1. Harus berhubungan dengan pinjaman;
2. Kelebihan disepakati di awal yang harus dibayar ketika jatuh tempo;
3. Waktu yang ditetapkan untuk pembayaran ulang; dan
4. Semua unsur untuk pembayaran ulang ini diambil sebagai syarat pinjaman. Dalam semua pandangan yang mereduksi Riba ini keseluruhan isu Penundaan disepelekan.

Bank Syari'ah adalah Sama Saja dengan Bank Biasa

Hasil akhir dari penyimpangan makna Riba ini adalah pembenaran perbankan. Premis mereka adalah ‘perbankan tanpa bunga’ adalah Halal. Kenyataannya walaupun Bank Syariah mendefinisikan diri sebagai Bank Tanpa bunga, sebenarnya juga mengenakan bunga tetapi dengan nama yang berbeda. Mereka menyebutnya 'bagi hasil', terkadang deviden, terkadang mark-up melalui bermacam skema penipuan. Tetapi terpisah dari metode penipuan penyembunyian bunga itu, masalah utamanya, Bank Syariah adalah sama dengan Bank biasa. Bank Syariah seperti halnya semua Bank, mempraktekkan ‘fractional reserve banking’. Fractional reserve banking adalah esensi uang fiat. Melalui metode ini mereka menggunakan dan menciptakan uang fiat dan akibatnya mereka mendukung sistem uang saat ini.

Pertama-tama, dalam Islam, orang (bankir) yang menerima titipan (wadi’ah) dari orang lain tidak boleh berdagang dengan uang itu. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran kontrak. Pada masa lalu umat Muslim berurusan dengan pembayaran secara langsung atau melalui jaringan yang terdiri dari para wakil, yang tidak menciptakan kredit, mereka hanya melaksanakan perintah pelanggan, yakni untuk membayar atau menerima pembayaran. Uang dan kredit tidak dicampur. Dan wakil tidak menggunakan uang titipan untuk perdagangan mereka sendiri.

Kedua, dalam Islam Anda tidak dapat menggunakan hutang sebagai uang. Dalam kasus uang kertas yang tidak didukung oleh logam mulia apapun, bankir berdagang dengan nota utang yang nilainya ditentukan oleh paksaan Negara. Uang jaman sekarang kenyataannya adalah pajak. Tidak ada cara untuk membolehkan ini dalam Islam. Bankir Islam tidak hanya berdagang dengan uang kertas, mereka menyumbang penciptaan lebih banyak uang kertas melalui penciptaan deposit. Harus diperhatikan bahwa fungsi bank deposit adalah seperti uang.

Untuk mengilustrasikan penciptaan uang, kami akan memberikan sebuah contoh. Di Kanada angka-angka yang dipublikasikan oleh Bank Kanada menjelaskan bahwa pada 1998 perbandingan semua cadangan Tunai bank di Kanada ($3.893 milyar) dibandingkan dengan total aset ($1393 milyar) telah meloncat kepada tingkat 1:358, angka yang tidak pernah terjadi dalam sejarah, selama 50 tahun pertama abad ke-20, rasio tidak pernah melebihi 1:15. Karenanya untuk setiap 1 dolar simpanan di Bank Kanada, bank telah menyulap $357 dari ketiadaan yang mereka investasikan atau pinjamkan dengan bunga.

Contoh ini menunjukkan bahwa bank sebenarnya adalah kontributor utama suplai uang negara.

Apa yang fractional reserve banking izinkan bagi bank adalah untuk meminjami melebihi cadangan dalam bentuk tunai. Sehingga apa yang terjadi ketika setiap orang mulai merasa curiga tentang sistem fractional reserve banking saat ini, dan menarik simpanan di bank?

Tidak ada jumlah uang tunai yang cukup. Keruntuhan bank, dapat disaksikan pada peristiwa tragis Great Depression tahun 1930-an. Untuk peristiwa yang lebih kini, terjadi di tahun 1985, ketika sejumlah bank regional di timur-laut Amerika menghadapi kebangkrutan saat menerbitkan kredit ketika tiap individu menarik simpanan. Kita juga menyaksikan sebuah bank runtuh baru-baru ini di Argentina, tahun 2001. Polisi berjaga-jaga, dan nasabah ditolak masuk ke bank untuk menarik tabungan. Sementara itu pejabat terpilih dan pemerintahan di berbagai negara telah berusaha untuk menutup bank, untuk mencegah terjadinya bank runtuh dan menimbulkan bencana keuangan yang tidak terkendali dan secara esensial menghancurkan sistem perbankan saat ini.

Solusi yang diambil ketika bank runtuh adalah menggunakan pajak dari warga negara melalui jaminan bank sentral untuk menghilangkan masalah sampai masalah berikutnya muncul kembali.

Negara melindungi bank dari keruntuhan dengan cara menjamin simpanan masyarakat, akhirnya menambah masalah dengan pemecahan cadangan bank sentral yang ditarik supaya bank dapat beroperasi kembali. Industri bank saat ini diatur dengan tatacara sedemikian rupa sehingga ada kartel sah pembuat uang. Negara melindungi kartel bank ini dengan berbagai macam kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Bank Syariah tanpa terkecuali adalah bagian dari sistem ini. Bank Syariah mempraktekkan fractional reserve banking yang menjadi dasar dari mayoritas uang yang beredar1. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk mendukung semua uang yang dibuat. Selisih tersebut dimasukkan ke dalam perekonomian sebagai uang beredar yang memberikan kontribusi terhadap fenomena inflasi.

Ide pertama Bank Syariah berasal dari idenya ‘Abduh, yang menyamakan bank dengan Syirkat dan Qirad. Prinsip yang memicu Bank Syariah tersebut adalah ide bahwa bank menginvestasikan uangnya – karena mereka tidak memberi pinjaman, mereka hanya berinvestasi – sehingga dapat dibuat Halal. Mereka berpendapat bahwa mereka tidak mengenakan bunga karena mereka menginvestasikan uang mereka kepada bisnis lain. Satu-satunya reformasi yang diperlukan, menurut mereka, dalam Islamisasi perbankan investasi bukanlah membayar bunga kepada pemilik akun rekening.

Itu bukanlah penyelesaian masalah melainkan cara lain untuk menghasilkan lebih banyak keuntungan. Sehingga menurut mereka investasi perbankan tanpa membayar bunga kepada pemilik akun adalah Halal.

Apa yang Bankir Syariah tidak dapat hindari adalah penyakit perbankan terutama inflasi. Karena mereka tidak dapat membenarkan inflasi dari perspektif Islam, yang lantas mereka katakan adalah masalah inflasi itu adalah tanggung jawab pemerintah, bukan bank. Ini tidak benar. Pemerintah menertibkan inflasi, tetapi produser utama pasokan uang adalah bank, termasuk Bank Syariah. Ketika mereka akhirnya ditekan mengenai masalah inflasi ini mereka berpendapat seperti biasanya bahwa ini adalah masalah darurah.

Secara alami, ide Dinar Emas dan Dirham Perak (mata uang Syari'ah) bagi para bankir adalah mengerikan, dan yang memalukan, termasuk pula para Bankir Syariah – karena perbankan tidak dapat beroperasi dengan rejim moneter emas dan perak murni. Mereka memerlukan uang kertas, apakah menjadi bagian dari standar emas, atau bahkan lebih baik, dengan uang fiat baru yang dipaksakan penggunaannya oleh Negara. Bank Syariah adalah bagian dari sistem perbankan. Bank Syariah adalah Haram sedangkan prakteknya adalah akal bulus yang paling licik melawan Syariah yang terjadi sepanjang sejarah. Bank Syariah telah membuat yang Haram jadi Halal. Karenanya kejahatan mereka adalah ganda. Pertama menggunakan yang Haram, dan kedua, merubah Hukum Syariah untuk membenarkan praktek mereka.

Murabahah, Apa yang Termasuk dan Apa yang Tidak Termasuk

Murabahah adalah kontrak penjualan yang terkenal dalam Islam yang telah disesatkan oleh Bank Syariah. Murabahah memenuhi antara 80 sampai 90 persen transaksi Bank Syariah. Kami mengatakan bahwa tanpa versi Murabahah ala Bank Syariah, Nama Syariah dalam sebuah Bank takkan mampu dipertahankan. Di bawah label Murabahah, yang merupakan sebuah penjualan, Bank Syariah melakukan pembiayaan berdasarkan praktek keharaman yang dikenal sebagai “dua penjualan dalam satu”. Praktek “dua penjualan dalam satu” ini adalah praktek tersamar yang menyembunyikan riba seolah-olah keuntungan.

Berikut ini yang dikatakan oleh Bank Syariah mengenai Murabahah?

“Murabahah: Secara Literal bermakna mark-up. Kontrak ini umumnya digunakan dalam pembiayaan perdagangan. Di bawah praktek ini, bank membeli atas namanya sendiri barang-barang yang pembeli inginkan. Bank kemudian menjual barang itu kepada pembeli untuk mendapatkan keuntungan. Pembeli lalu menyelesaikan pembayaran kepada bank dengan cara diangsur.”

Gambaran ini adalah apa yang kita sebut “dua penjualan dalam satu” dan itu haram. Imam Malik menulis dalam kitab Muwatta:

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Rasulullah Sallallahualayhi wasallam, melarang dua penjualan dalam satu penjualan.”

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar seorang laki-laki berkata kepada temannya, ‘Belikan aku unta ini sekarang juga supaya aku dapat membeli unta itu darimu dengan cara kredit.’ ‘Abdullah ibnu ‘Umar ditanya tentang hal itu dan dia tidak setuju serta melarangnya.”

Sebelum kita membahas persoalan ini secara terperinci, kita akan mempelajari makna asli Murabahah. Dalam Fiqih (Syariah) kontrak Murabahah adalah kontrak penjualan, yang bermakna ada penawaran dan penerimaan harga barang tertentu dalam transaksi tunggal. Perselisihan khas yang timbul dari kontrak Murabahah berhubungan dengan definisi harga dasar di atas yang dia tambahkan mark-up. Dalam sebuah kontrak Murabahah, harga dasar dikaitkan dengan harga akhir. Mark-up yang digunakan sebagai contoh dalam kitab Muwatta Imam Malik adalah 10%. Imam Malik membuat contoh berikut tentang seseorang yang menjual barang dalam Murabahah:

“jika seseorang menjual barang seharga seratus dinar dengan harga seratus sepuluh dinar”

Dalam penjualan biasa, penjual tidak wajib menyebutkan harga kulakan, tetapi dalam Murabahah Anda menyatakan harga kulakan plus mark-up nya.

“Jika seseorang menjual barang dalam Murabahah dan dia berkata, ‘Barang itu senilai seratus dinar bagiku.’

Praktek umumnya adalah penjual membeli barang di satu kota dan kemudian pergi ke kota lain untuk menjualnya dalam Murabahah, mengatakan: “Barang itu saya kulakan harga segini dan saya jual harga segitu” atau cukup dengan berkata “saya jual barang itu dengan keuntungan sepersepuluh (10 persen)”

Dalam Murabahah tradisional, barang-barang adalah milik penjual sebelum dia menawarkannya. Dalam Murabahah nya Bank Syariah, pembeli datang kepada bank dan berkata, Saya ingin beli ini dan itu. Kemudian Bank Syariah membelikannya secara Tunai dan menjualnya kepada klien seharga pembelian plus mark-up dengan syarat penundaan. Praktek ini adalah “dua penjualan dalam satu” dan itu Haram.

Persoalan kritis Murabahah yang menyita perhatian ulama kita adalah definisi harga dasar, sehingga tidak ada penyalahgunaan. Ada beberapa biaya yang disertakan dalam harga dasar dan ada yang tidak disertakan. Ketika sebuah biaya disertakan maka disebutnya penjual membuat mark-up pada biaya.

Ibnu Rushd menjelaskan perkara ini sebagai berikut:

Mayoritas Fuqaha setuju bahwa jual-beli ada dua jenis: Jual-beli Musawanah dan Jual-beli Murabahah. Disebut Murabahah ketika penjual menyebutkan harga kulakan, dan kemudian mengambil kelebihan berupa keuntungan dalam dinar atau dirham.

Ibnu Rushd menganalisa semua ketidakcocokan dalam masalah ini dalam bab al-Murabahah dalam kitab Bidayatul Mujtahid. Dia menjelaskan isu berkenaan dengan apa yang boleh dan apa yang tidak. Secara umum boleh bagi penjual dengan jalan Murabahah membeli dengan syarat penundaan dan juga menjual dengan syarat penundaan. Hanya ada satu unsur yang dipertimbangkan sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Rushd:

Malik berkata tentang orang yang menjual barang secara kredit dalam satu periode dan menjual barang itu dengan cara Murabahah, Imam Malik tidak mengizinkannya kecuali dia mengungkapkan periodenya. Imam Asy-Syafi’i berkata bahwa jika hal ini terjadi, pembeli akan memiliki periode (kredit) mirip dengan nya.

Maksudnya adalah kontrak Murabahah itu ada aturannya. Yaitu pertimbangan harga dasar atas keuntungan adalah tetap dan didefinisikan dengan jelas. Harga dasar menyertakan harga kulakan dan semua biaya yang dikeluarkan dalam transportasi, dll, sangat mirip dengan kasus agen Qirad. Penjual harus menyatakan biaya ekstra kepada pembeli, dan tidak ada salahnya mengurangi harga jika ada kesepakatan.

Murabahah bukanlah kontrak perdagangan seperti halnya Qirad. Murabahah adalah Jual-beli dan karenanya diatur oleh Hukum Jual-beli. Apa yang diharamkan dalam Jual-beli adalah haram juga dalam Murabahah, dan apa yang dibolehkan dalam jual-beli adalah dibolehkan juga dalam Murabahah. Perbedaannya dari jual-beli biasa adalah cara menyatakan harga.

Praktek Murabahah versi Bank Islam

Barangkali tokoh pemikir Bank Islam yang paling kondang adalah ulama Pakistan Taqi Osmani, yang esai nya tentang Murabahah mengatakan:

"Murabahah" kenyataannya adalah istilah Fiqih Islam dan merujuk kepada jenis penjualan tertentu yang tidak berhubungan apapaun dalam pembiayaan dalam arti aslinya....

Murabahah, dalam konotasi Islam nya yang asli, hanya sekedar penjualan. Ciri yang membedakannya dari jenis penjualan lain adalah, Penjual dalam Jual-beli Murabahah mengatakan kepada pembeli berapa biaya yang dia kenakan dan berapa keuntungan yang akan dia kenakan sebagai tambahan biaya.

Definisi ini benar kecuali kalimat “berapa keuntungan yang akan dia kenakan sebagai tambahan biaya” seharusnya berbunyi “berapa keuntungan yang dia kenakan sebagai tambahan biaya”. Perbedaan future dengan present adalah esensial untuk dimengerti guna memahami bagaimana praktek penjualan Murabahah ala Bank Islam terjadi. Future menyiratkan ada pra-kesepakatan sebelum penjual kulakan barang untuk dijual kepada pembeli, tetapi definisi dari Taqi Osmani dan perbedaan kalimat ini bukanlah poin utama.

Posisi Taqi Osmani, seperti sebagian besar ulama Perbankan Syariah, adalah bahwa Murabahah hanya dijadikan prinsip, yaitu, kesanggupan menyatakan mark-up penjualan, dan yang mereka lakukan kemudian adalah menggabungkan prinsip Murabahah ini dengan penjualan atas dasar syarat penundaan. Yang disebut oleh Bank Syariah sebagai Murabahah bukanlah Murabahah, tetapi hanyalah sebentuk Riba.

Taqi Osmani, seperti semua bankir Syariah lainnya, menyepelekan larangan “dua penjualan dalam satu”. Kini kita akan kembali membahas larangan ini.

Larangan Dua Penjualan dalam Satu

Ibnu Rushd menjabarkan persoalan ini dalam kitab Bidayatul-Mujtahid:

“Tema yang terkait dengan subjek di bab ini adalah hadist yang menegaskan bahwa Rasulullah shallallahualayhi wasallam, mengharamkan dua penjualan dalam satu, menurut Hadist dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu Masud dan Abu Hurairah. Abu Umar berkata bahwa semua Hadist ini telah diriwayatkan oleh otoritas terpercaya. Karena itu para Fuqaha secara umum setuju pada implikasi Hadist ini, tetapi berbeda mengenai detailnya – Maksud saya bentuk di mana istilah ini diterapkan dan di mana tidak dapat diterapkan. Mereka juga sepakat kepada beberapa bentuknya. Dua Penjualan dalam satu ini dapat terjadi dengan tiga cara:

1- Pertukaran dua komoditas yang diberi harga dengan dua harga,
2- Menukar satu komoditas yang diberi harga dengan dua harga, dan yang
3- Menukar dua komoditas yang diberi harga dengan satu harga, dalam kasus mana salah satu dari dua harga disatukan.

1- Penjualan dua komoditas yang diberi harga, dengan dua harga digambarkan dalam dua cara: pertama saat seseorang berkata kepada orang lain, “saya akan menjual kepadamu komoditas ini seharga sekian dengan syarat Anda menjual kepada saya rumah itu seharga sekian;” dan kedua dia mengatakan kepada seseorang, “saya akan menjual kepada Anda benda ini seharga satu dinar atau komoditas lain ini seharga dua dinar.”

2- Penjualan satu komoditas dengan dua harga juga digambarkan dengan dua cara: pertama, salah satu dari harga dibayar tunai sementara harga yang lain dibayar kredit, dan hal yang kedua, seperti halnya seseorang yang berkata “saya akan menjual kepadamu baju ini secara tunai dengan harga segini dengan syarat bahwa saya membelinya dari Anda (secara kredit) selama periode sekian waktu dengan harga sekian”.

3- Penjualan dua komoditas dengan harga tunggal adalah seperti mengatakan, “saya akan menjual kepadamu salah satu dari dua barang ini dengan harga sekian dan sekian.”

... namun jika dia berkata, “saya akan membelikanmu baju ini secara tunai seharga sekian dengan syarat bahwa Anda membeli dari saya (secara kredit) dalam sebuah periode,” tidak diizinkan secara bulat (oleh ‘ijma), menurut mereka (para fuqaha), karena itu adalah salah satu kategori ‘ina, yakni penjualan oleh seseorang dari apa yang tidak dia miliki dan juga melibatkan kasus larangan jahl mengenai harga.

Ketiga-tiganya adalah Haram.

Imam Malik menulis dalam kitab al-Muwatta:

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar al-Qasim ibnu Muhammad ditanya tentang seseorang yang membeli barang-barang seharga sepuluh dinar tunai atau limabelas dinar kredit. Dia tidak mengizinkan dan melarangnya.”

Malik berkata bahwa jika seseorang membeli barang-barang dari orang lain baik itu dengan harga sepuluh dinar tunai atau limabelas dinar kredit, yang mana salah satu dari dua harga itu diwajibkan kepada pembeli, maka perbuatan semacam itu janganlah dilakukan karena jika dia menunda pembayaran yang sepuluh dinar, maka akan menjadi limabelas dengan cara kredit, dan jika dia membayar sepuluh, dia akan belanja dengan sepuluh dinar itu untuk barang senilai limabelas jika kredit.

Malik berkata bahwa tidak dibolehkan bagi seseorang membeli barang dari orang lain baik itu dengan satu dinar dibayar tunai atau dengan dua dinar secara kredit dan bahwa satu dari dua harga diwajibkan kepadanya. Itu tidak dilakukan karena Rasulullah shallallahualayhi wasallam, melarang dua penjualan dalam satu penjualan. Ini adalah sejenis jual-beli: 'dua penjualan dalam satu'.

Semua dalil ini membuktikan bahwa praktek Murabahahnya Bank Syariah adalah Haram sebab kenyataannya bukan Murabahah tetapi dua penjualan dalam satu, yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahualayhi wasallam.

Larangan dua penjualan dalam satu juga menyertakan praktek tersembunyi yang menjadi biasa di pasar-pasar kita saat ini dan telah didukung oleh Bankir Syariah, yakni merujuk kepada orang yang menjual barang dengan dua harga, satu harga dibayar tunai, satu harga dicicil secara kredit. Ini adalah Haram dan harus diberantas. Jika penjual bermaksud menunda penerimaan pembayaran, maka harganya tidak boleh naik.

Taqi Osmani menegaskan bahwa transformasi Murabahah kepada pembiayaan, yang bertujuan Islamisasi pembiayaan, adalah tidak benar dalam Syari'ah tetapi hanya ukuran sementara:

“Asalnya, Murabahah adalah jenis suatu penjualan dan bukan mode pembiayaan. Mode ideal menurut Syari'ah adalah mudarabah (qirad) atau musyarakah (syirkat) yang telah dibahas pada bab pertama. Namun, dalam perspektif ekonomi saat ini, ada kesulitan praktis tertentu dalam menggunakan instrumen mudarabah dan musyarakah pada beberapa wilayah pembiayaan. Karena itu ahli Syari'ah kontemporer telah membolehkan, sesuai dengan kondisi tertentu, penggunaan Murabahah pada basis pembayaran yang ditunda sebagai mode pembiayaan. Tetapi ada dua poin esensial yang harus benar-benar dipahami dalam hal ini:

1- Hendaknya jangan pernah diabaikan bahwa, asalnya, Murabahah bukanlah model pembiayaan. Itu hanyalah perangkat untuk lolos dari "bunga" dan bukan instrumen ideal untuk melaksanakan tujuan ekonomi Syariah yang sebenarnya. Karena itu instrumen ini hendaknya digunakan sebagai langkah transit yang diambil dalam proses men-Syariah-kan ekonomi, dan penggunaannya hendaknya dibatasi hanya bagi hal-hal di mana mudarabah atau musyarakah tidak dapat dipraktekkan.

Namun, ide ‘langkah transit’ belum disampaikan kepada pelanggan mereka. Pelanggan diberitahu bahwa praktek Murabahah adalah Halal. Masalah terburuk, adalah praktek langkah transit yang dimaksud bukanlah kembali ke Syariah, melainkan integrasi lebih jauh dengan sistem kapitalis, yang mereka sebut men-Syariah-kan ekonomi

2. Maksud dari men-Syariah-kan ekonomi bukan keluar dari kapitalisme yang saat ini mengelilingi kita, tetapi menyesuaikan Hukum Syariah supaya cocok dengan kapitalisme, sebab Syariah dan kapitalisme adalah dua hal yang saling berlawanan.

Murabahah sebagaimana yang dipraktekkan oleh Bank Syariah adalah benar-benar Penipuan

Tariq al-Diwani menulis dalam esai nya “Bank Islam tidaklah Islam” (artikel tersedia di http://www.islamic-finance.com/indexnew.htm)

“The Contractum Trinius, adalah akal-akalan hukum yang digunakan oleh pedagang Eropa jaman pertengahan untuk meng-hutangi orang dengan riba, suatu hal yang dilarang keras oleh Gereja saat itu. Kontrak itu adalah gabungan tiga kontrak yang disatukan, yang jika sendiri-sendiri, kontrak itu dianggap boleh oleh Gereja, tapi jika bersama-sama digabung, menghasilkan pengembalian tetap yang disetujui di awal (hutang berbunga). Contoh, pura-puranya Si A memodali Rp100 ke Si B selama setahun (penundaan). Si A kemudian pura-puranya menjual kepada Si B hak menerima keuntungan dari permodalan tersebut sebesar Rp30 dan dibeli oleh Si B dengan harga Rp10. Kemudian, A akan mengasuransikan diri terhadap kerugian dengan cara kontrak ketiga yang disetujui oleh B dengan biaya dibayar oleh B ke A sebesar Rp5. Hasil dari tiga kontrak berbarengan itu adalah: disepakati di awal pembayaran bunga sebesar Rp10 (kelebihan) pada pinjaman sebesar Rp100 yang ditetapkan oleh A untuk dibayar oleh B di akhir tahun (bunga 10% per tahun ditambah jaminan sebesar 5% total Rp15).

Saya telah membaca tentang contractum trinius beberapa bulan sebelum menemukan kejahatan di balik kontrak Murabahah Bank Syariah. Itu adalah jenis kontrak yang Si A gunakan untuk pembelian barang X dari Si B. Bank akan menengahi transaksi dengan meminta A berjanji membeli barang X dari bank dalam hal bahwa bank membeli barang X dari B. Dengan janji yang dibuat di awal ini, bank mengetahui bahwa jika bank membeli barang X dari B bank dapat menjual barang itu kepada A dengan segera. Bank setuju bahwa A membayar barang X tiga bulan setelah bank mengirim barang itu kepada A. Sebagai balas jasanya, A setuju membayar bank sekian persen untuk pembelian barang X sebagai kelebihan dari yang dibayarkan oleh bank kepada si B. Akibatnya adalah bunga tetap atas balas jasa pembiayaan yang dilakukan oleh bank, Kontrak dimulai dengan bank membeli barang X dari B dibayar tunai untuk dikreditkan kepada A dengan harga lebih mahal.

Kumpulan trik hukum itu, baik di jaman pertengahan atau yang dipraktekkan oleh Murabahahnya Bank Syariah, tidak lebih dari akal-akalan untuk menghindar dari sebutan Riba, yakni contractum trinius Syariah jaman modern yang dipraktekkan oleh Bank Syariah. Fakta bahwa teks kontrak ini begitu sulit didapat adalah salah satu Fakta memalukan Perbankan Syariah. Jika memang bersih, kenapa dirahasiakan? Berikut ini adalah kutipan dari kontrak Murabahah yang sering digunakan oleh dua lembaga utama selama tahun 1990-an. Penerima dana (beneficiary) adalah klien yang membutuhkan pembiayaan, dan klausa sebelumnya mengharuskan Penerima bertindak sebagai agen dari Bank dalam mengambil pengiriman barang.”

Penipuan ini tidak dibolehkan dalam Hukum Syariah. Itu hanyalah akal-akalan untuk menghadirkan yang Haram sebagai Halal.

Bahaya dari Pengambilan Semata Prinsipnya Saja dari Kontrak Muamalah

Pada saat kontrak Muamalah diambil prinsipnya saja, maka penafsiran akan tercerabut dari ‘Amal1. Hasilnya adalah bahwa ekonomi Syariah dapat bebas dibikin bentuk apapun untuk tujuan 'men-Syariah-kan kapitalisme’.

Dengan menggunakan karya dari orang seperti Taqi Osmani, satu pasukan baru Bankir Syariah 'berijtihad' dan membangun dasar, melalui metodologi dan prinsip yang sama, mereka bergerak kepada lapisan selanjutnya 'men-Syariah-kan kapitalisme’. Ketika sampai kepada men-Syariah-kan obligasi dan turunannya, sumber-sumber asli Syariah benar-benar dilupakan dan tidak lagi menggunakan pijakan pengambilan “hukum syara'” oleh generasi bankir Syariah yang sebelumnya. Hasilnya adalah khayal di atas khayal. ‘Men-Syariah-kan’ pasar masa depan adalah yang terakhir, namun bukan langkah terakhir, perkembangan penipuan ini menjadi tak terkendali dengan sebutan ‘ekonomi Syariah’. Mengenai isu ini lihat Sebuah Bantahan Yuridis terhadap Taqi Osmani ditulis oleh Hadhrat Maulana Mufti Habibullaah dari Pakistan. Mufti Habibullaah menulis:"

“Saya telah membuat studi mendalam tentang buku Mufti Muhammad Taqi Utsmani Sahib, berjudul Islaam Aur Jadeed Ma' eeshat Wa Tijaarat (Islam dan Kehidupan serta Perdagangan Modern). Saya menyimpulkan bahwa Mufti Sahib telah bertindak percuma membangun sistem kapitalis dengan bantuan Islam dan Syariah. Sementara Islam menolak sistem ini, Mufti Saheb malah membuat Syariah tunduk kepada sistem kapitalisme. Tetapi kami (Muslim) kehidupan sosial dan politiknya tunduk kepada Syariah. Mufti Saheb telah berusaha menambahkan kata Jadeed (modern), guna menyajikan sistem kapitalis dalam nuansa syariah. Ini adalah upaya membangun keuntungan moneter bagi para kapitalis yang akan menuntun umat Muslim jadi percaya bahwa keuntungan mereka adalah keuntungan halal. Jadi, mereka akan memanfaatkan keuntungan tersebut tanpa memahami dosa atau tidaknya. Yang demikian benar-benar tak bernilai apapun baik itu di dunia maupun juga di akhirat nanti.”

Teknik yang digunakan adalah merubah Hukum Syariah ke dalam prinsip abstrak tanpa konteks ‘amalnya dan kemudian penerapan bebas prinsip-prinsip ini dengan qiyas kepada kontrak yang sama sekali baru. Dengan demikian proses ini dianggap sebagai “Men-Syariah-kan sebuah Kontrak”. Berikut ini adalah contoh bagaimana Mudarabah secara prinsip ditafsirkan sebagai bagi-hasil dan Musyarakah sebagai persamaan partisipasi. Implikasinya adalah Mudarabah adalah sebagai sebuah kontrak Syariah yang disahkan oleh Fiqih menjadi segala bentuk bagi-hasil berdasarkan kontrak kapitalis.

“Pengambilan semata prinsip Mudarabah-Musyarakah ini (bagi-hasil & persamaan partisipasi) kepada kontrak pembiayaan lebih dekat kepada partisipasi kooperatif dan aktif antara pemegang saham ketimbang pendayagunaan harta mengendap yang dimiliki oleh seorang kaya untuk memodali partner usahanya.” (Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury, Ekonomi Politik Islam, sebuah Kritik kepada Ekonomi Islam. Dipublikasikan dalam jurnal Ekonomi Politik Alternatif. Vol I, No I, January 99; Penang, 1999, p. 9.)

Pencatutan istilah ekonomi yang tampaknya tidak berbahaya ini memiliki implikasi ganda.

Satu, pencatutan istilah telah menyederhanakan dan menggantikan sifat alamiah yang rumit dari ‘amal yang sesungguhnya, guna mendukung prinsip-prinsip (yang de facto disebut prinsip-prinsip Syariah) yang secara diam-diam membawa semua konotasi dan latar belakang filosofi yang berbeda.

Dua, prinsip-prinsip Syariah ini digunakan untuk melabeli dan membenarkan situasi lain yang sama sekali berbeda dari kontrak aslinya.

Mudarabah atau Qirad adalah lebih dari sekedar ‘bagi hasil’. Banyak kewajiban dan larangan dalam 'Amal Syariah nya yang tidak tercakup oleh istilah ‘bagi-hasil’. Syarikat atau Syirkat berbeda dari ‘persamaan partisipasi’. Apa yang dipahami dengan persamaan partisipasi dalam kapitalisme dan dalam Hukum Syariah adalah benar-benar berbeda.

Tahap-tahap Proses Islamisasi

Tahap pertama dari ijtihad modernis/reformis dilakukan oleh Muhammad ‘Abduh yang melegalkan bunga dengan dasar kemiripan dengan bagi-hasil dalam Syariah, yaitu Qirad. Qiyas (analogi) kaum modernis adalah sebagai berikut: Semangat Qirad adalah untuk berbagi keuntungan dari bisnis yang sah, oleh karena itu, dari bisnis yang sah kami dapat menawarkan beberapa bentuk 'keuntungan yang dibatasi atau bunganya.

Tahap kedua Islamisasi Riba adalah ijtihad Hasan al-Banna mengenai legalisasi dividen sebagai laba yang sah. Qiyas nya terdiri dari ucapan bahwa deviden sama seperti sejenis ‘keuntungan praktis’, walaupun deviden diputuskan oleh mayoritas pemegang saham dan mereka independent dari hasil perusahaan.

Tahap ketiga, adalah pembangunan Bank Islam/Syariah, di antara tokoh yang dapat disebutkan adalah:

Yusuf Qardawi
(Pemimpin Ikhwanul Muslimin dan Kepala Dewan Islam Bank Islam Abu Dhabi) dan

Khurshid Ahmad
(Pemimpin Jama'atul Islamiyah dan salah seorang Bapak Ekonomi Syariah).

Mereka memperkenalkan penggunaan-penggunaan istilah Arab untuk menyembunyikan praktek Riba. Inilah proses yang paling berbahaya. Proses itu mencerminkan penolakan mutlak Hukum Syariah dan merubahnya dengan qiyas kepada ‘prinsip-prinsip Syariah’ sebagai proses reformasi, yang demikian itulah yang dilakukan terhadap Murabahah.

Metodologi Kaum Modern

Kenyataannya pembiayaan Syariah adalah laboratorium utama kaum modernis untuk berinovasi, yang ditentukan oleh definisi untuk men-Syariah-kan realitas modern. Laboratorium ini merupakan lahan subur berinovasi karena tidak tersentuh oleh realitas politik. Terinspirasi oleh pengalaman Ahmad al-Najjar pada rejim Nasser Mesir, Organisasi Konferensi Islam (OIC) meluncurkan Bank Pembangunan Islam pada tahun 1973. Lalu memulai di tahun 1975 dengan Bank Islam Dubai, mencetak sektor swasta Bank Islam komersial yang dibuka untuk bisnis dan bersaing dengan sukses dengan bank konvensional, pertama di banyak negara Arab dan kemudian di negara Muslim lain dan bahkan negara non-Muslim. Namun meskipun pertumbuhannya cepat, sekarang mereka tampak terhenti. Gejala penyebabnya adalah Bank Islam Dubai memerlukan paket penyelamatan pada tahun 1998, dan sejumlah bank komersial Islam lainnya menunjukkan tanda-tanda terjegal. Satu dari masalah dasar mereka adalah bahwa mereka tidak memiliki cukup persenjataan instrumen finansial untuk bersaing dengan bank konvensional. Akibatnya mereka mengupah sejumlah insinyur keuangan dan sarjana hukum inovatif untuk berkontribusi menciptakan konsep penipuan baru berdasarkan prinsip-prinsip Syariah dengan harapan bahwa mereka dapat memperoleh 'angin kedua'.

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pembiayaan Syariah. Yang pertama mengambil pendekatan makro ekonomi Syariah dan “menambang korpus hukum klasik untuk prinsip-prinsip Syariah yang mendasar” sehingga dapat menarik kesimpulan dalam hal ekonomi bebas bunga. Pendekatan lain adalah pendekatan mikro yang kurang lebih berfokus dengan hukum Syariah atau Fiqih terhadap “aksi nyata perseorangan yang memiliki signifikansi agama utama” yang kemudian diubah menjadi prinsip-prinsip Syariah siap-pakai. Mikro formal, perspektif berdasarkan transaksi, adalah salah satu yang paling mempengaruhi praktek dan pembiayaan bank Syariah saat ini. Ini dilakukan dengan mereduksi Fiqih kepada beberapa aturan sederhana yang biasanya keliru sebagai pernyataan Hukum Klasik. Akibat dari percampuran pendekatan ini adalah kebingungan.

Ekonom menjawab dengan ketus bahwa pendapat para Fuqaha Salih jaman dulu seharusnya dirasionalisasi, yang tidak setuju dianggap melawan kemajuan agama Islam.

Metode yang disukai mereka untuk menguraikan fatwa mereka dan menerapkannya pada situasi kontemporer ada empat:

1- Dengan ijtihad atau penafsiran baru dengan diterangi oleh ‘prinsip-prinsip’ Qur’an dan Hadist;
2- Dengan pilihan (ikhtiyar) di antara pandangan yang telah diajukan oleh ulama di masa lalu dan diadaptasi oleh berbagai kriteria yang mungkin (metode talfiq, comot dari madzhab sana sini), termasuk dalil kepentingan umum atau maslahat (maksudnya pragmatisme), kepada situasi saat ini;
3- Dengan keharusan (darurah); dan
4- Dengan kecerdasan licik seputar hukum (yang mereka sebut hila, jamak. hiyal) atau penggunaan hukum secara pandai untuk mendapatkan pengesahan.

Adapun para fuqaha tradisional menghindari ijtihad, adapun jika ada hal yang baru, dapat ditentukan hukum syara' nya berdasarkan sumber hukum yang sudah ada, sedangkan ijtihad adalah metode yang lebih disukai oleh kaum modernis, terutama dalam pembahasan kontemporer tentang pilihan, yang merupakan instrumen finansial kritis bagi masa depan pembiayaan Syariah. Profesor Kamali, seorang ekonom Syariah yang dihargai, saat menyebut ijtihad, secara jelas menggunakan metode talfiq dan kriteria kepentingan umum (pragmatisme) dalam analisa hukum instrumen-instrumen ini.

Contoh terbaik dari penggunaan kelicikan hukum adalah Murabahah. Murabahah sebagaimana kami analisa sebelumnya, telah dirubah menjadi alat pembiayaan dengan menggabungkan dua transaksi dalam satu. Ulama modern terakhir kali berpendapat bahwa time value of money adalah hujjah yang sah (walaupun sebenarnya tidak sah) sedangkan mereka menolak disebut membuat uang dari uang.

Di bawah kelicikan hukum ini, bank yang membiayai penjualan Murabahah harus benar-benar membeli barang dan kemudian mengajukan ke pembeli. Namun dalam prakteknya, bank Syariah di Pakistan, Malaysia termasuk Indonesia telah menyusun kaidah Murabahah lain, dimana kreditur segera melepaskan barang dagangan kepada pembeli tanpa pernah benar-benar memiliki atau bahkan sepenuhnya mengidentifikasi barang itu. Akademi Fiqih Organisasi Islam telah mengutuk praktek ini, sedangkan banyak bank Syariah yang terlibat dalam kelicikan tersebut tidak memiliki keahlian perdagangan dan pergudangan guna memenuhi kondisi nyata Murabahah seandainyapun hendak dilakukan oleh perbankan. Bagian utama kredit yang dikucurkan oleh Bank Syariah adalah dalam bentuk Murabahah tetapi porsi artifisialnya tidak diketahui.

Setiap pembongkaran kelicikan hukum yang dilakukan oleh bank Syariah ini, dapat mengakibatkan keseluruhan operasi pembiayaan bank Syariah ini dalam bahaya. Karena serangan yang terus-menerus ini, bank Syariah terus-menerus membutuhkan intrumen finansial baru guna mempertahankan kegiatan penipuan mereka serta mengecoh lebih banyak lagi orang.

Darurah telah digunakan sebagai alat untuk men-Syariah-kan kapitalisme. Penggunaan sesuatu yang darurah harus disertai dengan pengembalian yang Halal, dimulai dengan Zakat. Isu Zakat adalah fundamental bagi Deenul Islam dan fundamental bagi restorasi kehidupan ekonomi Syariah. Zakat tidak dapat dibayar dalam dayn. Bantahan Bankir adalah bahwa dalam keadaan saat ini, Muslim tidak dapat membayar zakat jika tidak dalam uang kertas. Bahkan jika Anda menerima versi realitas ini, Muslim tidak dapat terus berkubang dalam darurah. Prinsip darurah adalah pengampunan, dan sementara itu segala usaha dikerahkan untuk merubah keadaan. Namun alih-alih melakukan itu, ulama pro perbankan menggunakan prinsip darurah ini untuk membenarkan penggunaan uang kertas. Kenyataannya adalah umat Muslim tidak dapat dicegah dari mencetak dan menggunakan Dinar Emas dan Dirham Perak yang Syar'i. Menggunakan darurah dengan cara ini adalah alasan yang dibuat-buat yang berfungsi untuk mempertahankan status quo, yaitu sebagai alat untuk meng-Haramkan yang Halal.

Ijtihadnya kaum modernis bukanlah ijtihad. Ijtihad mereka diasosiasikan dengan penolakan taqlid, yang mereka sebut mengikuti Fiqih tradisional secara buta. Itu adalah bentuk lain kelicikan hukum untuk membuat yang Haram jadi Halal. Kunci penyimpangan mereka adalah penolakan Fiqih tradisional (madzhab1), yang dipandang seperti halnya warisan abad pertengahan. Sebagai gantinya mereka menuju langsung kepada Qur’an dan Hadist. Teks kehilangan konteks atau putusan hukum yang kemudian berubah menjadi prinsip-prinsip Syariah, seperti prinsip bebas bunga atau prinsip pengesahan time value, dan kemudian prinsip-prinsip itu diterapkan kepada kontrak apapun mulai dari obligasi sampai kepada turunannya, termasuk pertukaran, saham, dan juga kartu kredit, pinjaman serta perdagangan hutang.

Penggunaan istilah maslahat, atau kepentingan umum, adalah sebentuk alat Islamisasi. Dengan menggunakan penjelasan yang memadai, maslahat dapat ditafsirkan sebagai apapun. Berdasarkan prinsip maslahat, penggunaan uang kertas dapat dibilang sebagai kepentingan umum. Kenapa Anda harus membawa koin emas yang berat di saku Anda jika Anda dapat menggunakan uang kertas yang lebih ringan atau bahkan kartu kredit yang lebih ringan lagi? Argumen semacam itulah yang mereka gunakan untuk membenarkan praktek kapitalisme yang sedemikian jahat.

Masalah T-Bills ala Islam adalah sangat penting tidak hanya untuk kebijakan moneter, tetapi juga bagi Bank Syariah, selalu membutuhkan tempat berlindung yang aman untuk parkir kelebihan likuiditas mereka. Dalam hal ini dan masalah serupa lainnya yang ada hanya ada konsensus mengenai apa yang diizinkan atau apa yang tidak diizinkan dalam imajinasi lembaga semacam Dewan Syariah Nasional. Ada spektrum penuh argumen hukum dan praktik negara. Hampir semua obligasi pemerintah yang ada dapat diterima oleh beberapa Bank Syariah sedangkan sebagian yang lain tidak menerima, tergantung pada penafsiran masing-masing Dewan Syariahnya. Jadi Model Malaysia, model Negara Pakistan dan Iran, dan Model Islam Arab menggunakan kriteria yang berbeda pada isu-isu baru ini. Sementara Model Malaysia telah mengakomodasi Bank Syariah dalam sistem dual bank syariah dan konvensional, itu tidak berarti jelas bahwa praktek Malaysia akan terbukti secara Syariah dapat diterima di negara-negara Arab. Tidak ada rumus Syariah yang berlaku umum untuk sekuritas pemerintah yang secara relatif bebas resiko.

Blok bangunan standar lain keuangan konvensional modern adalah 'pilihan', hak tanpa kewajiban untuk membeli atau menjual sesuatu di masa mendatang pada harga tertentu. Profesor asal Malaysia Mohammad Hashim Kamali telah menyajikan pembelaan hukum yang ‘provokatif’ untuk bermacam jenis derivatif Islami berdasarkan pasar berjangka bagi komoditas. Sebagian besar argumennya tergantung pada kapasitas kelembagaan pasar untuk mengontrol unsur-unsur gharar, atau spekulasi, yang melekat di pasar derivatif. Professor Kamali menunjukkan penghargaan yang sangat besar kepada kontrak-kontrak pembiayaan modern yang menurutnya belum diajarkan oleh Fuqaha tradisional. Adapun bankir dan ekonom telah memperluas pemahaman mengenai hukum seputar pembiayaan, namun, dari hari ke hari semakin mengkristal konsensus baru mengenai Derivatif Syariah. Keuangan Syariah telah memperoleh 'keluwesan' yang cukup besar dari langkah-langkah awal yang diambil oleh Bankir Syariah pertama. Semua itu tidak akan selesai sampai benar-benar terintegrasi kepada sistem perbankan kafir.

Meskipun dimengerti bahwa banyak orang Muslim menemukan diri mereka dalam situasi di mana mereka menganggap bahwa perbankan diperlukan bagi kehidupan mereka, tidak dibenarkan untuk menyebutnya Syariah. Jika Muslim dipaksa oleh keadaan untuk menciptakan bank, mereka harus menyebutnya "Bank Haram". Nama ini akan membuat orang sadar bahwa semua transaksi yang terjadi di bank dilarang dan akan mendorong orang untuk menghilangkan ketergantungan pada sistem perbankan.

Menghadirkan yang Halal

Cara untuk menghilangkan ketergantungan pada sistem perbankan adalah dengan menghadirkan yang Halal. Ini dimulai dengan:

1- Pengenalan kembali mata uang Syariah kita, Dinar Emas dan Dirham Perak, dan Pembuatan sistem pembayaran tanpa lewat bank, yakni menghindari percampuran uang dengan kredit.

Enam langkah untuk mengenalkan kembali mata uang Syariah kita:

1. Mencetak koin di bawah standar World Islamic Mint (telah dilakukan oleh Amirat Indonesia di bawah kepemimpinan Amir Zaim Saidi).
2. Distribusi dan penjualan koin serta mempublikasikan harga kepada khalayak ramai. (Sudah)
3. Pembentukan jaringan usaha yang menerima Dinar dan Dirham.
4. Pengenalan Wadiah bagi yang ingin menitipkan koin Dinar dan Dirhamnya
5. Pembuatan sistim pembayaran berdasarkan berdasarkan Dinar dan Dirham Fisik nyata, yang akunnya terkait ke kartu debet (sedang dalam tahap perencanaan).

6. Pembuatan sistem online dan mobile lainnya yang terkait kepada akun (sedang dalam tahap perencanaan)

2- Setelah sistem pembayaran Syariah terbentuk, tahap berikutnya adalah Pembuatan Pasar Syariah (pasar bebas sewa)1, Pengenalan kembali karavan, gilda dan pengadilan Syariah yang mengawasi praktek Muamalah dan kontrak bisnis supaya sesuai dengan praktek Syariah yang asli: Syirkat dan Qirad.